Header Ads

Tulisan Terkini

Ketika Gerakan Budaya Membaca Berhadapan dengan Tentara

Ketika Gerakan Budaya Membaca Berhadapan dengan Tentara.


Dunia Perpustakaan | Entah apa yang ada di kepala aparat Kodam Siliwangi Jawa Barat, Sabtu (8/16). Sejumlah anak-anak yang sedang berkumpul di perpustakaan jalanan yang ada di Taman Cikapayang Dago, Kota Bandung, tiba-tiba dibubarkan aparat berseragam loreng itu.

Komunitas perpustakaan jalanan itu menyebut pembubaran dilakukan sekitar pukul 23.00. Mereka memperkirakan saat itu terdapat kurang lebih 50 tentara. "Mereka membawa senjata api dan pentungan rotan. Turun dari kendaraan, mereka membubarkan kerumunan orang di Taman Cikapayang sambil berteriak dan membentak dengan kasar," tulis Indra, pegiat Perpustakaan Jalanan.

Pembubaran ini cukup mengejutkan. Sebab, gerakan gemar membaca ini baru saja diresmikan Walikota Bandung Ridwan Kamil, Kamis (8/16). Peresmian gerakan ini berawal dari keprihatinan Kang Emil demikian Pak Walikota Bandung itu biasa disapa akan rendahnya tingkat literasi/membaca orang Indonesia. `

Data yang dikeluarkan UNESCO pada 2012, seperti dikutip femina.co.id menyebut, indeks membaca orang Indonesia hanyalah 0,001. Artinya, dari 1.000 penduduk, hanya ada 1 orang yang mau membaca buku dengan serius. Dengan rasio ini, berarti di antara 250 juta penduduk Indonesia, hanya 250.000 yang punya minat baca. Ini terbalik dengan jumlah pengguna internet di Indonesia yang mencapai 88,1 juta pada 2014.

Di antara negara-negara ASEAN, Indonesia menempati urutan ketiga terbawah bersama Kamboja dan Laos. Penelitian UNESCO mengenai minat baca pada tahun 2014, menyebut anak-anak Indonesia membaca hanya 27 halaman buku dalam satu tahun.

Pemeringkatan terbaru, menurut data World's Most Literate Nations, yang disusun oleh Central Connecticut State University tahun 2016, peringkat literasi Indonesia berada di posisi kedua terbawah dari 61 negara yang diteliti.

Di peringkat itu, Indonesia hanya lebih baik dari Bostwana, negara di kawasan selatan Afrika. Fakta ini didasarkan pada studi deskriptif dengan menguji sejumlah aspek. Antara lain, mencakup lima kategori, yaitu, perpustakaan, koran, input sistem pendidikan, output sistem pendidikan, dan ketersediaan komputer.

Fakta ini sesuai dengan survei tiga tahunan Badan Pusat Statistik (BPS) mengenai minat membaca dan menonton anak-anak Indonesia yang dilakukan pada 2012. Survei itu menyebut, hanya 17,66 persen anak-anak Indonesia yang memiliki minat baca. Sementara, yang memiliki minat menonton mencapai 91,67 persen.

Tak heran dengan peringkat buruk itu, membuat Kang Emil mengeluarkan peraturan wajib membaca, terutama bagi pelajar. "Bandung melakukan dua hal yang fundamental, kita punya Perda Literasi dan Perpustakaan, sehingga di mana-mana harus ada ruang membaca," ujar Kang Emil.

Ruang membaca itu, Ridwan mencontohkan, seperti gerobak dorong buku, mobil perpustakaan, satu taman satu perpustakaan, dan satu kelurahan satu perpustakaan.

"Jadi dengan objek yang sudah disediakan di beberapa tempat tersebut, kita wajibkan membaca 15 menit kepada seluruh anak-anak sekolah. Sehingga sebelum memulai pelajaran, mereka harus membaca buku-buku yang bukan pelajaran," katanya.
Ridwan berharap, semangat dari Bandung bisa ditularkan ke seluruh Indonesia. Namun kini harapan Ridwan tinggal harapan.

Malam itu, aparat berseragam militer dengan dalih keamanan, membubarkan aktivitas membaca yang dilakukan warga. Menurut Kepala Staf Komando Daerah Militer III/Siliwangi Brigjen TNI Wuryanto kegiatan Perpustakaan Jalanan yang beroperasi pada malam hari itu merupakan modus baru geng motor di Bandung. "Kemungkinan itu hanya sebagai modus. Dulu enggak ada Perpustakaan Jalanan. Sekarang dengan berbagai modus dan alasan, mereka (geng motor) mengatasnamakan macam-macam, termasuk perpustakaan jalanan," kata Wuryanto .

Screenshot_1

Menurut Wuryanto, jika kegiatan melapak buku gratis itu ditujukan untuk membantu masyarakat mengakses buku, seharusnya Perpustakaan Jalanan dilakukan pada siang hari.

Kapendam III Siliwangi Letkol Desi Ariyanto, menambahkan, pembubaran itu dilakukan karena pihaknya ingin menciptakan keamanan, ketertiban, dan kenyamanan masyarakat. Masyarakat, kata dia, khawatir dengan maraknya aksi kriminalitas yang dilakukan geng motor. Karenanya, pihaknya pun rajin melakukan patroli keliling. Ariyanto mengklaim, "Kodam III Siliwangi punya kemampuan untuk mencegah tindakan itu (kejahatan). Masyarakat saat ini senang serta berterima kasih.

Khusus Kota Bandung, kata Ariyanto, pihaknya menjalin kesepakatan dengan Pemda, dan Kepolisian tentang aturan batas waktu malam bagi komunitas motor. Mereka dibatasi waktu maksimal berkumpul hingga jam 22.00. "Bila ada yang melaksanakan kegiatan lebih dari jam tersebut (pukul 22.00), maka akan dibubarkan," ujar Ariyanto.

Tak hanya komunitas motor, komunitas atau kelompok lain yang kedapatan nongkrong larut malam juga tak akan luput jadi sasaran penertiban.

Anehnya, pernyataan aparat Kodam ini berbeda dengan Kepolisian Daerah Jawa Barat. Menurut Kepala Bidang Humas Polda Jabar Komisaris Besar Yusri Yunus, pihaknya tidak pernah melarang aktivitas warga Bandung di malam hari. "Kalau ada tindak pidana di situ, kami akan lakukan proses hukum. Tapi kalau orang kumpul saja, itu bukan kriminal, masa kami tindak," katanya.

Pembubaran aktivitas itu juga cukup mengejutkan Kang Emil dan Wakil Gubernur Jawa Barat Deddy Mizwar.

Deddy menilai tindakan aparat Kodam Siliwangi itu tidak didasarkan pada alasan yang jelas. "Kenapa membaca malam hari enggak boleh? Kalau alasannya keamanan, bisa. Tapi perpustakaan yang mengajak orang membaca malam hari enggak boleh? Aneh kan," ujarnya.

Senada dengan Deddy, Kang Emil juga menyesalkan tindakan yang dilakukan aparat TNI itu. "Tidak menyalahkan siapa-siapa, hanya menyesalkan saja. Kami justru lagi giatkan budaya literasi, 15 menit membaca sebelum sekolah," ujar Emil.

Kini, pihaknya akan mencari solusi bagaimana komunitas-komunitas, khususnya Perpustakaan Jalanan, ini bisa leluasa menggelar atau menjalankan misinya untuk membudayakan membaca.

Sumber: beritagar.id