Header Ads

Tulisan Terkini

FENOMENA HOAX : Membedakan Berita dari Informasi

FENOMENA HOAX : Membedakan Berita dari Informasi.


Dunia Perpustakaan | Maraknya Hoax saat ini semakin merajalela dan seperti tak terbendung. Adanya akses internet dan semakin menjamurnya sosial media menjadikan Hoax begitu mudah dibuat dan disebarkan tanpa ada hukuman yang tegas kepada para pembuat dan penyebar hoax.

Apalagi jika melihat data dan fakta bahwa minat baca orang Indonesia yang rendah, namun menjadi yang paling cerewet di dunia, menjadikan hoax mudah dipercaya oleh para netizen.

[Baca juga: Netizen Indonesia, Minat Baca Rendah tapi Paling Cerewet di Dunia!]


Melihat kondisi tersebut tentunya teramatsangat menyedihkan. Untuk itu, ada baiknya kita mengetahui dan memahami apa itu Hoax, berita, dan Informasi?

Berikut ini merupakan ulasan yang mendalam terkait Fenomena Hoax yang diulas tuntas oleh Putu Laxman Pendit melalui tulisan yang kami kutip dari catatan di akun facebook pribadinya [14/1/2017].

Semua informasi (information) dapat menjadi berita (news), tetapi belum tentu sebaliknya. Sebuah berita dapat mengandung bohong (hoax), sementara kesalahan dalam informasi kita sebut misinformation.

Apa itu berita?


Berita atau lazim pula kita sebut “kabar” (dan bahkan digabung menjadi “kabar-berita”) adalah hasil reportase atau laporan tentang suatu kejadian oleh seseorang kepada sekian banyak orang-orang lain dengan cara menyebarkannya.

Pem-berita-an adalah sebuah perilaku sosial, didorong oleh insting untuk selalu berkomunikasi antar-manusia. Lalu ada “surat-kabar” yang kemudian lebih suka kita sebut “koran” sebagai sebuah pengorganisasian yang amat serius untuk melakukan pemberitaan secara massal dan sistematis.

Ketika organisasi ini menjadi komersial bahkan bisnis besar, tidak mementahkan definisi pemberitaan sebagai perilaku-sosial. Hasrat manusia lah yang mendorongnya selalu memperoleh kabar-berita; kalau perlu dengan membayar atau membeli -- termasuk membeli pulsa untuk internetan.

Profesi yang kemudian menekuni kegiatan berbayar dan komersial ini lazim kita sebut “jurnalis” atau “wartawan”.

Keseluruhan prinsip aturan perilaku profesi ini, termasuk etika dan estetikanya, lazim disebut “jurnalisme” atau “kewartawanan”.

Melalui jurnalisme inilah terpelihara unsur paling penting dalam perilaku pemberitaan itu, yakni keterpercayaan (trust). Bagi jurnalisme, pemberitaan adalah sebuah kesaksian tentang suatu kejadian.

Kejujuran dalam menyampaikan kesaksian itu menjadi ukuran bagi kualitas berita, dan tentu saja merupakan handalan bagi para penerima yang ingin selalu percaya bahwa kandungan berita itu mengandung kebenaran. Dari segi ini maka berita-bohong (hoax) adalah indikasi pengerusakan keterpecayaan itu, dan ini sudah berlangsung sejak ada jurnalisme.

Boleh dikatakan, fenomena hoax adalah tantangan paling konsisten terhadap keterpercayaan jurnalisme di sebuah masyarakat.

Sampai di sini perhatikanlah bahwa berita tidak mempedulikan format, media, maupun teknologi untuk menyebarkannya. Apakah disebarkan secara lisan, ataukah tulisan, tetap dapat disebut berita. Berbentuk foto atau video, pun, dapat disebut berita.

Selama ia masih memenuhi definisi yang saya urai di alinea kedua di atas, sebuah lisan, tulisan, foto, video yang disebarkan dengan cara apa pun, di atas kertas atau di layar, melalui darat, udara, maupun saluran elektronik -- apa pun -- dapat menjadi berita.

Lalu Apa itu Informasi?


Walaupun kata “informasi” sudah dipakai sejak lama, khususnya di negeri-negeri asal kata itu (kita menerjemahkannya dari kata Bahasa Inggris, information), namun kebiasan, perilaku, dan makna yang melibatkan kata ini adalah sebuah fenomena baru. Khususnya, fenomena informasi ini terkait langsung dengan kelahiran media berteknologi elektronik yang sekarang mencapai puncaknya dalam bentuk teknologi digital.

Tentang hal ini saya sudah menulis panjang lebar dan tidak akan menguraikannya lagi di sini. Bagi pembaca yang berminat, silakan mampir ke sini (“Ketika Informasi adalah Listrik”).

Ringkas kata, informasi berbeda dari berita, dan inilah bedanya :

  1. Informasi belum tentu memerlukan perantara manusia, tidak seperti berita yang selalu merupakan sampaian hasil pengamatan seseorang. Alam semesta sering menghasilkan informasi, misalnya dalam bentuk kondisi cuaca yang dapat membantu kita memutuskan apakah perlu membawa payung atau tidak. Kondisi cuaca ini pula yang oleh Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) dilaporkan menjadi berita yang mengandung ramalan. Sudah barang tentu, informasi dari semesta tak mungkin mengandung hoax, sementara berita tentang cuaca dapat saja membohongi, walau mungkin tidak akan dilakukan oleh BMG.

  2. Sejalan dengan butir pertama di atas, informasi seringkali merupakan hasil langsung pengolahan pikiran penerimanya, setelah mendapat “bahan mentah” yang lazim kita sebut data (bentuk jamak dari datum). Data pada gilirannya memiliki bahan mentah berupa fakta. Teknologi elektronik berusaha memendekkan “jarak” dari fakta ke data. Ada dua contoh dalam hal ini. Teleskop raksasa Hubble yang diluncurkan tahun 1990 dan sampai sekarang melayang-layang di ketinggian 559 km itu adalah contoh pertama. Teleskop ini menghasilkan data tentang semesta (fakta) yang menjadi informasi bagi para astronom. Boleh lah kita mengatakan, teleskop itu tak pernah berbohong, sementara berita tentang kondisi alam semesta (misalnya kapan akan kiamat!) bisa saja hoax. Contoh kedua adalah streaming atau siaran langsung sepakbola yang merupakan rekayasa teknologi digital untuk memendekkan jarak dari fakta (pertandingan) ke data (siaran atau broadcast jalannya pertandingan sebagaimana terlihat di layar). Para penonton dijamin (walau tidak 100%) terhindar dari hoax tentang, misalnya, hasil pertandingan itu.

  3. Apakah manusia tidak mampu memproduksi data seperti alat-alat elektronik? Oh, tentu saja bisa. Data statistik hasil sensus ekonomi, misalnya. Data ini dikumpulkan oleh petugas-petugas resmi yang melakukan wawancara atau pengamatan lapangan. Survei-survei berskala besar melibatkan ratusan atau ribuan petugas, sering dilakukan untuk memperoleh data yang akan menjadi masukan bagi pengambilan keputusan-keputusan penting. Dalam konteks ini, hanya manusia yang dapat berbuat salah, atau bahkan berbohong dan menghasilkan hoax. Rekayasa teknologi elektronik dan komputerisasi mencoba meminimalkan kesalahan dalam pendataan. Misalnya, daripada mengirim ribuan petugas sensus, mendingan pakai sensus online.

  4. Teknologi memang cenderung meminimalisir campur tangan manusia, termasuk dalam perekaman fakta. Inilah inti dari pengembangan teknologi informasi. Telepon selular dilengkapi kamera yang cukup canggih sehingga semua orang dapat menjadi pengamat langsung dari sebuah peristiwa, dan melalui sambungan Internet hasil pengamatan tersebut dapat disebar secara meluas. Inilah sebenar-benarnya berita-lempang (straight news) itu, tetapi jika (dan hanya jika!) orang yang bersangkutan tidak melakukan pengubahan sedikitpun atas rekamannya. Hoax akan terjadi jika seseorang memanipulasi hasil pengamatan tersebut melalui (ini celakanya!) teknologi informasi juga!


Sistem Pemberitaan dan Sistem Informasi


Dari empat butir perbedaan di atas, kita dapat mulai melihat fenomena hoax sebagai bagian dari sistem pemberitaan. Hoax terjadi ketika sistem, tata-kerja, tata-aturan, dan tata-kelola pemberitaan (atau pelaporan) di sebuah masyarakat mengalami distorsi yang terutama berakibat pada hilangnya keterpercayaan masyarakat terhadap saluran-saluran pemberitaan resmi dan utama (mainstream).

Sementara itu teknologi informasi adalah rekayasa yang semula ditujukan untuk menghasilkan informasi dengan memegang prinsip-prinsip kejernihan saluran komunikasi, terutama dengan meminimalisir campur tangan manusia dalam proses perekaman fakta menjadi data.

Namun dalam perkembangannya, rekayasa yang sama juga dapat digunakan justru untuk memanipulasi data dan menjadikannya bahan pemberitaan kebohongan.

Sistem informasi (information system) di sebuah masyarakat mengandung infrastruktur teknologi informasi dan petugas-petugas pelaksananya. Keberlangsungan sistem ini amat dipengaruhi tata-nilai dan budaya, khususnya yang berkaitan dengan perekaman, penyebaran, dan penggunaan data.

Hoax dapat terjadi jika aspek penyebaran informasi ini dimanipulasi untuk kepentingan pengecohan dalam pemberitaan. Artinya, sistem informasi dapat menjadi pemberi asupan (feeder) bagi “bahan baku” hoax.

Berkat --atau akibat!-- perkembangan teknologi informasi yang amat cepat serta merasuk ke segala bidang kehidupan, termasuk ke sistem pemberitaan, maka hoax pun menjadi-jadi. Di satu sisi, kebiasaan manipulasi fakta dan data justru semakin “terbantu” oleh teknologi informasi, dan di sisi lain campur tangan manusia dalam saluran komunikasi justru semakin besar.

Pada akhirnya hoax memang memerlukan baik solusi teknologi informasi, maupun solusi non-teknologi. Patut kita sadari, hoax memang sudah ada --dan akan selalu ada-- sejak manusia pertamakali membangun sistem pemberitaan.

Kita memerlukan solusi teknologi untuk terus mengupayakan kejernihan saluran informasi, dan di saat sama memerlukan upaya sosial-budaya untuk menegakkan kembali etika pemberitaan, tidak saja yang melibatkan saluran-saluran resmi atau mainstream, tetapi juga saluran-saluran baru yang justru bermunculan ketika teknologi informasi sudah “di dalam genggaman” semua orang (dalam arti sesungguhnya, sebagaimana kita kenal dengan istilah “telepon genggam”!).