Mencari Akar Kepustakawanan Indonesia
Mencari Akar Kepustakawanan Indonesia.
Majalah : Visi Pustaka Edisi : Vol. 8 No. 1 - Juni 2006
Abstrak
Falsafah penyusunan undang-undang perpustakaan harus bertolak dari Pembukaan UUD 1945, khususnya yang menyangkut kecerdasan kehidupan bangsa. Dalam batang tubuh UUD 1945 diatur materi tentang informasi, pendidikan dan kebudayaan, yang ketiganya mendasari dibangunnya perpustakaan Indonesia. Dan sehubungan dengan tujuan ikut menjaga ketertiban dunia, maka dirujuk kesepakatan international yang telah ditanda tangani, antara lain : Manifesto Unisco tentang perpustakaan unum dan perpustakaan sekolah, serta kesepakatan dalam Millenium Development Goals (MDGs) dan World Summit of Information Society (WSIS).
Pendahuluan
Kepustakawanan dalam tulisan ini diartikan sebagai ilmu perpustakaan dan praktik dalam penyelenggaraan perpustakaan. Batasan ini sejalan dengan yang dipakai dalam aturan jabatan fungsional pustakawan (JFP) maupun pengertian dalam draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Perpustakaan. Upaya membentuk undang-undang perpustakaan bagi Indonesia telah lama dimulai. Penulis sendiri mulai terlibat dalam upaya itu sejak akhir dasa warsa 1980-an.
Setelah mengalami pasang surut, mulai awal tahun 2006 upaya itu mulai menemukan jalan yang lebih jelas. Pertemuan intensif dengan Komisi X DPR telah menghasilkan kesepakatan untuk mengusulkan RUU Perpustakaan menjadi usul inisiatif DPR. Kini naskah akademis dan draf RUU telah selesai dibuat siap menempuh jalan panjang dalam sidang-sidang di DPR.
Dalam menyiapkan naskah akademis penulis ditugaskan menyusun tinjauan filosofis atas perlunya undang-undang perpustakaan. Penulis bertolak dari pemikiran bahwa semua undang-undang di negara ini harus bersumber dari Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Demikian juga seharusnya undang-undang perpustakaan ini. Oleh karena itu penulis menyusun tinjauan tersebut memakai dasar apa yang diamanatkan oleh UUD 1945.
Memang undang-undang yang akan mengatur penyelenggaraan perpustakaan Indonesia harus mempunyai akar kuat dalam UUD 1945. Masukan yang penulis sampaikan dalam rangka menyusun naskah akademis dapat juga disebut sebagai upaya mencari akar kepustakawanan Indonesia.
Berbicara tentang tanaman, akar kadang tidak menarik perhatian banyak orang dibanding dengan buah atau bunga. Biasanya orang menanam tanaman memang mengharapkan buah atau bunganya. Namun harus diingat bahwa harapan itu hanya akan terpenuhi apabila tanaman itu memiliki akar yang cukup efektif dalam mencari makan bagi tumbuh, kembang, dan berbuahnya tanaman.
Berdasarkan analogi ini, maka tumbuh, kembang, dan berbuahnya perpustakaan juga harus memiliki akar yang kuat. Pemahaman atas semua aspek tersebut menjadikan pustakawan dapat dengan benar merumuskan visi dalam melaksanakan tugasnya. Penulis berpendapat bahwa topik ini sesuai dengan tujuan Visi Pustaka.
Tentu saja visi kepustakawanan Indonesia akan lengkap dengan mempertimbangkan juga perkembangan yang terjadi baik pada lingkup nasional maupun internasional. Sekarang sudah semakin meningkat keinginan untuk membuat taman bacaan untuk masyarakat. Meski masih ada sebagian pustakawan yang belum mengakui potensi taman bacaan sebagai kawan seperjalanan dalam mengembangkan perpustakaan, namun fenomena ini harus disikapi dengan arif.
Di lingkup internasional jelas telah terjadi perkembangan yang serba cepat. Bukan perkembangan dalam kepustakawanan saja yang harus diperhatikan. Perkembangan kesepakatan global juga harus diperhatikan untuk melengkapi visi pengembangan kepustakawanan kita. Kesepakatan itu antara lain adalah: Millenium Development Goals (MDG), Public Library Manifesto, dan World Summit of Information Society (WSIS).
Arti Perpustakaan
Walaupun telah merdeka lebih dari 60 (enam puluh ) tahun, perpustakaan ternyata belum memperoleh tempat dan arti yang sebenarnya dalam hidup keseharian masyarakat Indonesia. Bahkan masih ada orang yang belum mengenal perpustakaan sama sekali. Hal ini tercermin antara lain dari beragam jawaban atas pertanyaan mendasar seperti: "Apa perpustakaan itu?" Jawaban yang paling sederhana sering menyebut perpustakaan adalah gudang buku, tempat baca, atau taman bacaan.
Pihak dengan faham yang lebih maju mengatakan bahwa perpustakaan adalah institusi yang memfasilitasi terjadinya interaksi pengetahuan. Ada pula yang mengartikan perpustakaan sebagai koleksi buku. Inipun beragam mulai dari koleksi yang dimiliki pribadi, kelompok, institusi, maupun masyarakat luas, bahkan negara.
Dapat dibayangkan bahwa akan semakin beragam pula jawaban atas pertanyaan: "Apa arti perpustakaan bagi kehidupan pribadi?" Mungkin ada yang menjawab bahwa perpustakaan tidak mempunyai arti sama sekali dalam kehidupan pribadinya, karena memang merasa tidak memerlukan perpustakaan dalam hidup pribadinya.
Namun ada jawaban lain yang mengatakan bahwa perpustakaan menjadi tempat dia mendapatkan pencerahan hidup dengan membaca. Para petinggi perguruan tinggi sering mengatakan bahwa perpustakaan ibarat jantungnya perguruan tinggi. Tidak sedikit politisi yang mengatakan bahwa keberadaan perpustakaan mencerminkan tinggi rendahnya budaya suatu bangsa.
Pernyataan terakhir ini benar adanya. Apabila suatu bangsa ingin dinilai tinggi budayanya, maka bangsa itu harus memiliki perpustakaan yang berkualitas tinggi. Di sisi lain dengan adanya perpustakaan yang berkualitas baik dan dapat melakukan tugas pelayanan masyarakat dengan benar, maka juga akan menfasilitasi proses peningkatan kebudayaan suatu bangsa. Secara tegas dapat dikatakan bahwa keberadaan perpustakaan menjadi keniscayaan dalam masyarakat yang berbudaya. Adalah kewajiban negara dan pemerintah untuk membudayakan warganya. Dengan demikian secara umum dapat dikatakan: adalah kewajiban negara dan pemerintah untuk menjamin adanya perpustakaan bagi warganya.
Jaminan atas ketersediaan perpustakaan (perpustakakan umum) bagi warga antara lain dapat diwujudkan dengan adanya undang-undang yang mengatur perpustakaan. Bagi Indonesia undang-undang perpustakaan sangat diperlukan mengingat belum berhasilnya ilmu perpustakaan dan praktikya dalam meyakinkan masyarakat umum akan pentingnya perpustakaan bagi hidup keseharian mereka.
Penulis masih mencari penyebab mengapa dalam 60 tahun kita merdeka ternyata kita belum berhasil mengembangkan perpustakaan seperti yang kita cita-citakan. Mungkinkah dengan undang-undang nanti kehidupan dan perkembangan perpustakaan akan semakin baik? Jawab atas pertanyaan ini yang kita harapkan tentunya adalah: YA Namun itu semua dengan syarat bahwa undang-undang perpustakaan nantinya sahih dan benar.
Amanat Dalam Pembukaan UUD 1945
Dalam Pembukaan Undang Undang Dasar (UUD) 1945 disebut tujuan kemerdekaan Bangsa Indonesia adalah:
… membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial …
Tujuan besar ini logikanya harus dimulai dengan melakukan terlebih dahulu upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Upaya ini merupakan langkah yang strategis dan menjadi keniscayaan. Hidup bangsa yang cerdas hanya akan diwujudkan apabila setiap warga negara juga memiliki hidup yang cerdas. Kecerdasan warga negara menjadi prasyarat upaya mencapai tujuan kemerdekaan Bangsa Indonesia. Dengan kata lain setiap warga negara wajib untuk hidup cerdas.
Kecerdasan hidup individu diperoleh antara lain dengan peningkatan kemauan dan kemampuan belajar, sehingga dengan sendirinya kegiatan belajar menjadi kewajiban setiap manusia Indonesia. Di pihak lain Pemerintah Negara Indonesia mempunyai kewajiban untuk memfasilitasi kegiatan belajar warga negaranya.
Oleh sebab itu tersedianya sarana belajar, termasuk tersedianya perpustakaan yang baik, serta kesempatan yang sama bagi setiap warga negara untuk belajar adalah tanggung jawab pemerintah. Jadi dapat dikatakan bahwa warga negara yang tidak mau belajar dan pemerintah yang tidak mau menyediakan sarana belajar sebetulnya mengingkari tujuan kemerdekaan Indonesia.
Kegiatan belajar dapat dilaksanakan dengan beragam cara, baik melalui pendidikan formal, non formal dan informal, namun belajar dalam arti luas tidak hanya terbatas pada pendidikan formal maupun non-formal saja. Belajar dalam arti luas sesungguhnya dilaksanakan justru dalam menempuh perjalanan hidup masing-masing individu. Seseorang hendaknya belajar dari hidupnya, dari kehidupan sesamanya, dan dari kehidupan lingkungannya baik lingkungan alam maupun lingkungan sosialnya.
Oleh sebab itu manusia dianjurkan untuk belajar sepanjang hayat. Kondisi ini merupakan prasyarat terwujudnya masyarakat pembelajar (learning society). Hidup bangsa yang cerdas tercapai apabila warganya sudah menjadi masyarakat pembelajar dan mampu menggunakan pengetahuannya secara bijaksana.
Perpustakaan mempunyai posisi yang strategis dalam masyarakat pembelajar karena perpustakaan bertugas mengumpulkan, mengelola dan menyediakan rekaman pengetahuan untuk dibaca dan dipelajari. Selain itu layanan perpustakaan merupakan layanan yang demokratis dan karena tidak pernah membeda-bedakan agama, suku, bangsa, warna kulit, tingkat sosial maupun ekonomi dari para penggunanya.
Dengan perpustakaan akan tertolonglah masyarakat ekonomi lemah dalam mengakes informasi yang mereka perlukan. Dalam kasus ini perpustakaan dapat dikatakan menjadi sarana mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, sehingga dapat dikatakan bahwa keberadaan perpustakaan juga merupakan penghayatan falsafah negara kita yaitu Pancasila.
Dalam sejarah pembelajaran umat manusia, lahirlah lembaga yang menjadi tempat akumulasi rekaman pengetahuan manusia pada jamannya. Lembaga inilah yang sekarang dikenal sebagai perpustakaan. Merekam pengetahuan adalah awal dari terbentuknya perpustakaan. Ide dasar merekam pengetahuan ini mempunyai dua maksud.
Pertama adalah untuk tujuan mengingat, dan yang kedua adalah untuk tujuan menyampaikan pengetahuan. Pada perkembangan selanjutnya upaya mengingat ini berkembang menjadi upaya melestarikan. Di sisi lain upaya untuk menyampaikan pengetahuan sekarang lebih dikenal dengan upaya layanan informasi. Maka fungsi pelestarian dan fungsi informasi menjadi dua fungsi dasar suatu perpustakaan.
Dengan adanya akumulasi pengetahuan dalam satu tempat, muncul peluang untuk melakukan pendidikan maupun untuk melakukan penelitian. Seseorang belajar atau dididik dengan menggunakan akumulasi pengetahuan yang ada dalam perpustakaan. Kalaupun seseorang belajar secara mandiri dia dapat mencari sendiri pengetahuan dalam perpustakaan.
Hasil penelitian atau pemikiran ditulis dalam buku, artikel, dan sebagainya. yang kemudian juga disimpan di perpustakaan. Dalam pendidikan dan penelitian ini, perpustakaan menduduki posisi yang sangat sentral karena dua proses kegiatan itu berawal dan bermuara pada perpustakaan. Maka perpustakaan mempunyai dua fungsi lagi yaitu pendidikan dan penelitian.
Keempat fungsi yang sudah ada itu pada hakikatnya adalah hasil budaya umat manusia atau sekelompok manusia (bangsa). Maka genaplah fungsi perpustakaan dengan fungsi yang kelima yaitu fungsi kebudayaan yang juga mencakup fungsi rekreasi. Pengertian rekreasi di sini adalah dalam arti luas tidak hanya sekedar untuk bersenang-senang. Rekreasi dimaksudkan sebagai fase yang perlu dilalui agar orang dapat menciptakan kembali ide-ide baru, atau membuat seseorang menjadi kreatif kembali. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perpustakaan memiliki lima fungsi dasar yaitu: pelestarian, pelayanan informasi, pendidikan, penelitian dan kebudayaan.
Keberadaan dan kegunaan perpustakaan dalam hidup keseharian masyarakat Indonesia haruslah mempunyai dasar filosofi yang benar dan kuat. Ini jelas berbeda dengan falsafah dan praktek perpustakaan dan kepustakawanan di negara lain. Sumber falsafah dan dasar kehidupan berbangsa dan bernegara adalah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Bertolak dari dua sumber itulah hendaknya keberadaan dan kegunaan perpustakaan Indonesia dibangun dan dikembangkan.
Amanat Dalam Batang Tubuh UUD 1945
Pasal 28 UUD 1945 mengatur tentang hak asasi manusia. Sehubungan dengan komunikasi dan informasi pasal 28 F menyebut:
Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
Pasal ini menjadi dasar pelayanan informasi yang harus disediakan oleh perpustakaan. Masyarakat yang dilayani oleh perpustakaan dengan sendirinya harus mengapresiasi keberadaan perpustakaan. Tindakan yang negatif atas perpustakaan hendaknya dikenai sanksi. Pasal ini menjadi dasar utama bagi pembangunan perpustakaan umum.
Perpustakaan umum adalah perpustakaan yang dibangun untuk melayani kebutuhan masyarakat umum akan informasi dan kepustakaan dan informasi di bidang pengetahuan, informasi dan kebudayaan.
Pasal 31 UUD 1945 mengatur tentang pendidikan. Pasal ini menjadi dasar fungsi pendidikan yang harus dilakukan oleh perpustakaan. Secara rinci pasal ini menyebut:
- (1) Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan.
- (2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.
- (3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.
- (4) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendatapan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
- (5) Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.
Penyelenggaraan pendidikan bagi warga negara telah diatur dalam satu sistem pendidikan nasional. Keberadaan perpustakaan, baik perpustakaan sekolah maupun perpustakaan perguruan tinggi dalam lembaga pendidikan formal dikelompokkan sebagai sarana pendukung kegiatan pendidikan. Sayang bahwa kondisi perpustakaan sekolah maupun perpustakaan perguruan tinggi belum sepenuhnya dapat mendukung kegiatan pendidikan.
Masih saja ada pihak otoritas pendidikan yang belum menyadari posisi perpustakaan. Bahkan banyak sekolah yang belum memiliki perpustakaan sekolah. Padahal dengan kemjauan yang begitu cepat, sebenarnya sudah terjadi pergeseran fungsi perpustakaan dari sekedar sarana pendukung menjadi bagian yang berperan sebagai salah satu motor penggerak dalam pengembangan dan pelaksanaan kurikulum.
Demikian pula dalam kasus perpustakaan perguruan tinggi. Apa yang sering dikatakan banyak petinggi perguruan tinggi tentang perpustakaan yang katanya sebagai jantungnya kehidupan perguruan tinggi, toh dalam praktiknya, perhatian kepada perpustakaan tidak sebagai perhatian kepada jantung.
Padahal jantung dalam tubuh manusia berfungsi memompakan darah, dan dalam darah terdapat energi hidup manusia. Apakah benar perpustakaan perguruan tinggi juga diperhatikan hingga dapat memompa energi bagi kehidupan perguruan tinggi? Fungsi sebagai jantung sudah berkembang lebih lanjut terutama bagi universitas yang menyandang predikat universitas riset (research university).
Sebagai lembaga pendidikan dan riset, universitas hendaknya mempunyai perpustakaan yang disamping berfungsi sebagai pompa energi juga menjadi tempat akumulasi hasil penelitian maupun pendukung informasi dan pengetahuan untuk melakukan penelitian. Dengan semua perkembangan keadaan seperti itu, keberadaan suatu undang-undang perpustakaan menjadi niscaya. Selain mengatur, undang-undang perpustakaan hendaknya menjadi pendorong tumbuh-kembangnya perpustakaan seiring dengan kemajuan jaman.
Pasal 31 ayat 5 UUD 1945 mengamanatkan tugas pemerintah dalam memajukan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tugas ini jelas memerlukan upaya penelitian, baik penelitian teori maupun aplikasi. Seperti juga dalam lingkup universitas, pemerintah juga melakukan upaya penelitian dan pengembangan melalui unit penelitian dan pengembangan milik pemerintah.
Demikian juga pihak swasta melaksanakannya melalui unit penelitian dan pengembangan milik mereka. Pada unit penelitian dan pengembangan itulah diperlukan adanya unit perpustakaan penelitian atau perpustakaan khusus. Di samping tujuan utamanya melayani penguna internal, perpustakaan penelitian ataupun perpustakaan khusus juga dapat melayani pengguna dari luar lembaga.
Di bidang kebudayaan UUD 1945 mengamanatkanya dalam pasal 32. Fungsi kebudayaan dari perpustakaan perlu diatur berdasar pasal tersebut yang menyebut:
- (1) Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan umat manusia.
- (2) Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional.
Perpustakaan hendaknya menjadi pelestari khasanah budaya bangsa. Fungsi pelestarian suatu perpustakaan diatur dan dilaksanakan untuk memenuhi pasal 32 UUD 1945. Semua produk budaya bangsa dalam bentuk pustaka harus dilestarikan. Oleh karena itu adalah kewajiban penerbit atau pembuat karya rekam untuk menyerahkan produknya agar dapat dilestarikan dalam koleksi nasional. Ketentuan tentang serah simpan karya rekam telah diatur dengan Undang-Undang nomor 4 tahun 1990.
Public Library Manifesto
Pada tahun 1994 Unesco dan IFLA mengeluarkan pernyataan yang dikenal dengan Public Library Manifesto. Ini merupakan pandangan, harapan dan cara menumbuhkan perpustakaan umum. Pokok berikut merupakan terjemahan bebas dari manifesto itu.
Gerbang menuju pengetahuan
-> Manifesto ini bertolak dari nilai dasar kemanusiaan yaitu: kemerdekaan, kesejahteraan, dan perkembangan masyarakat maupun perorangan. Semua nilai itu hanya akan dipenuhi melalui kemampuan warga negara yang memiliki aksess informasi untuk melaksanakan hak demokrasinya, serta berperan aktif hidup bermasyarakat.
-> Partisipasi membangun dan pertumbuhan demokrasi tergantung pada kecukupan pendidikan maupun akses bebas dan tidak terbatas pada pengetahuan, pemikiran, kebudayaan, dan informasi.
-> Perpustakaan umum adalah gerbang menuju pengetahuan, yang memberikan kondisi dasar dalam upaya pembelajaran sepanjang hayat, pengambilan keputusan yang independen, dan pengembangan budaya perorangan maupun kepompok.
-> Manifesto ini menyatakan kepercayaan Unesco kepada perpustakaan umum sebagai kekuatan hidup bagi pendidikan, kebudayaan, dan informasi. Dengan demikian menjadi juda unsur utama dalam membangun kedamaian dan kesejahteraan spiritual melalui akal budi manusia.
-> Oleh sebab itu Unesco mendorong pemerintah pusat maupun daerah untuk mendukung pembangunan dan pengembangan perpustakaan umum.
Perpustakaan umum
- perpustakaan umum adalah pusat informasi yang menyediakan beragam pengetahuan dan informasi bagi penggunanya;
- layanan diberikan dengan dasar kesamaan akses bagi setiap orang tanpa membedakan umur, ras, agama, kebangsaan, jenis kelamin, bahasa maupun status sosial;
- layanan khusus harus disediakan bagi mereka yang mengalami hambatan seperti bahasa minoritas, penyandang cacat, pasien rumah sakit maupun narapidana;
- semua kelompok pengguna harus mendapatkan materi sesuai dengan kebutuhannya. Koleksi dan layanan harus mencakup semua jenis media dan teknologi, maupun materi tradisional;
- materi dengan kualitas prima dan sesuai dengan kebutuhan lokal menjadi yang utama;
- materi harus mencerminkan arah dan evolusi masyarakat yang mutakhir, maupun memori usaha dan imajinasi manusia;
- koleksi dan layanan hendaknya bebas dari sensor ideologi, politik, agama, atau tekanan komersial.
Tugas perpustakaan umum
Tugas pokok perpustakaan umum berikut yang berhubungan dengan literasi, pendidikan, dan kebudayaan hendaknya menjadi layanan inti :
¿ menciptakan dan memperkuat kebiasaan membaca pada anak sejak usia dini;
¿ mendukung pendidikan formal maupun mandiri pada tiap tingkat;
¿ menyediakan kesempatan bagi pengembangan kreativitas pribadi;
¿ merangsang imajinasi dan kreativitas anak dan kaum muda;
¿ mempromosikan kesadaran warisan budaya dan apresiasi seni, pencapaian ilmu dan inovasi;
¿ memberikan akses pada ekspresi budaya dalam bentuk pertunjukan kesenian;
¿ memupuk dialog antar budaya dan menjaga keragaman budaya;
¿ mendukung tradisi lisan;
¿ menjamin akses masyarakat pada semua jenis informasi publik;
¿ menyediakan layanan informasi yang layak kepada usaha lokal, asosiasi dan kelompok peminat khusus;
¿ memfasilitasi pengembangan ketrampilan dalam komputer dan literasi informasi;
¿ mendukung dan berpartisipasi dalam aktivitas dan program literasi bagi semua kelompok umur, dan melakukan inisiatif kegiatan apabila diperlukan.
Pendanaan, perundangan, dan jaringan kerjasama
¿ Pada dasarnya layanan perpustakaan umum harus gratis
¿ Penyelenggaraan perpustakaan umum menjadi tanggung jawab pemerintah pusat dan pemerintah daerah
¿ Keberadaan perpustakaan umum harus didukung dengan undang-undang dan harus didanai oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah
¿ Perpustakaan umum merupakan komponen penting dalam setiap strategi kebudayaan, penyediaan informasi, literasi dan pendidikan
¿ Untuk menjamin koordinasi dan kerjasama antar perpustakaan secara nasional, undang-undang dan rencana strategis harus menentukan dan mempromosikan kerja sama nasional berdasarkan pada standar layanan yang disepakati
¿ Jaringan kerja sama ini harus dirancang dan terkait dengan perpustakaan nasional, perpustakaan daerah, perpustakaan khusus maupun perpustakaan sekolah dan perguruan tinggi
Pelaksanaan dan pengelolaan
¿ Kebijakan yang jelas harus dirumuskan menyangkut tujuan, prioritas dan layanan dalam memenuhi kebutuhan masyarakat lokal. Perpustakaan umum hendaknya diorganisasikan secara efektif dan profesional yang memenuhi standar operasi yang berlaku.
¿ Hendaknya bekerjasama dengan pihak terkait seperti kelompok penguna maupun profesional lain baik lokal, nasional, maupun internasional
¿ Secara fisik layanan harus terjangkau oleh semua anggota masyarakat. Ini memerlukan lokasi gedung yang cocok, fasilitas baca dan belajar yang memadai, penggunaan teknologi dan jam layanan yang luwes bagi pengguna. Hendaknya juga dipikirkan layanan bagi yang mengalami hambatan untuk datang ke lokasi.
¿ Layanan perpustakaan harus disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat desa maupun masyarakat perkotaan.
¿ Pustakawan adalah penghubung aktif antara pengguna dan sumberdaya informasi. Pendidikan profesional dan berkelanjutan menjadi keharusan untuk menjamin kecukupan layanan.
¿ Layanan keluar dan progam pendidikan perlu dilaksanakan untuk membantu pengguna mendapatkan manfaat dari koleksi perpustakaan
Unesco mendesak para pengambil keputusan pada tingkat nasional maupun lokal dan masyarakat luas perpustakaan untuk benar-benar menerapkan manifesto ini.
Millenium Development Goals
Para pemimpin dunia dari berbagai negara telah bertemu pada Millenium Summit pada Bulan September 2000, menjadikannya pertemuan pemimpin dunia terbesar sepanjang sejarah. Hasilnya adalah Deklarasi Milenium Perserikatan Bangsa Bangsa. Telah terjadi kesepakatan dan kesanggupan membangun kerja sama global guna mengurangi kemiskinan dan menentukan jadwal pelaksanaannya, yang semuanya akan berakhir pada tahun 2015. Kesepakatan itulah yang kemudian dikenal dengan Millenium Development Goals (MDGs).
MDGs adalah sasaran dunia, terukur dan terjadwal untuk memerangi kemiskinan dalam segala dimensinya seperti: pendapatan, kelaparan, penyakit, perumahan, dan keterpinggiran. Selain itu juga merupakan kesepakatan untuk mempromosikan kesetaraan gender, pendidikan dan kelangsungan lingkungan hidup. Tidak tertinggal adalah pengakuan atas hak asasi manusia seperti: hak setiap orang pada kesehatan, pendidikan, perumahan, dan keamanan.
Enam tujuan utama adalah:
1. Menghapus kelaparan dan kemiskinan
2. Mencapai pendidikan dasar universal
3. Mempromosikan kesetaraan gender dan memberdayakan perempuan
4. Mengurangi kematian anak
5. Meningkatkan kesehatan ibu
6. Memerangi HIV/AIDS, malaria dan penyakit lain.
World Summit Of Information Society
Dua kali petemuan dalam membangun masyarakat informasi global telah terjadi. Pertemuan pertama dilaksanakan di Geneva, Swiss pada tanggal 10-12 Desember 2003. Pertemuan kedua terlaksana di Tunisia pada tanggal 16-18 November 2005. Pertemuan Geneva menghasilkan 67 butir prinsip dalam membangun masyarakat informasi yang berpusat pada manusia, inklusif, dan berorientasi pada pembangunan. Masyarakat yang dimaksud adalah masyarakat yang setiap warganya dapat mencipta, mengakses, menggunakan, dan berbagi informasi dan pengetahuan. Oleh sebab itu dalam masyarakat tersebut diharapkan perorangan, kelompok, dan masyarakat luas dapat menggunakan penuh potensinya dalam melakukan pembangunan berkesinambungan dan meningkatkan kualitas hidupnya.
Sebagai kesepakatan dunia, kesepakatan WSIS dengan sendirinya juga harus mendukung kesepakatan sebelumnya seperti yang telah dilakukan dalam MDGs. Oleh sebab itu dalam membangun masyarakat informasi perhatian khusus diberikan kepada kebutuhan khusus masyarakat rentan dan yang terpinggirkan. Termasuk dalam kelompok ini adalah kaum migran; masyarakat tergusur dan para pengungsi; para penganggur dan masyarakat terlupakan, kelompok minoritas dan nomad, orang tua dan penyandang cacat. Selanjutnya juga ditegaskan upaya pemberdayaan kaum miskin, khususnya yang hidup di daerah terpencil, desa, dan pinggiran kota. Akses informasi dan pengetahuan dimaksudkan dapat mereka pakai untuk juga mengentaskan mereka dari kemiskinan.
Masyarakat informasi bertumpu pada penggunaan teknologi informasi dan komunikasi. Menyadari kesenjangan akses teknologi di masyarakat tersebut, maka lembaga publik seperti sekolahan, perpustakaan, kantor arsip, museum, pusat kebudayaan, maupun kantor pos hendaknya dapat dipakai sebagai titik akses informasi maupun kepada teknologi tersebut oleh masyarakat luas. Oleh sebab itu perlu dikembangkan program penguatan lembaga-lembaga publik tersebut. Promosi pelestarian hasil budaya bangsa perlu dikerjakan oleh lembaga seperti perpustakaan, arsip, museum dan pusat kebudayaan..
Pada pertemuan di Tunisia di samping mereview kesepakan Geneva juga melengkapi prinsip yang telah dirumuskan. Dua dokumen disepakati yaitu : Tunis agenda for the information society dan Tunis commitment. Selain itu juga dirinci lembaga internasional yang terkait dengan program dalam WSIS (lihat lampiran 1). Secara khusus perpustakaan memang tidak disebut dalam dokumen Tunisia ini. Namun karena dokumen Tunisia menjadi kelanjutan dari dokumen Geneva, dengan sendirinya apa yang telah disebut dalam dokumen Geneva harus dilaksanakan. Bagi pustakawan tentunya dituntut pemahaman atas isi dan tujuan dari dokumen Geneva.
Rangkuman
Falsafah penyusunan undang-undang perpustakaan harus bertolak dari Pembukaan UUD 1945, khususnya yang menyangkut kecerdasan hidup bangsa. Apa yang menyangkut kecerdasan hidup bangsa tersebut, selanjutnya dicari keterkaitan penerapannya dalam batang tubuh UUD 1945. Dalam batang tubuh UUD 1945 diatur materi tentang informasi pada pasal 28f, pendidikan pada pasal 31 dan kebudayaan padal pasal 32. Tiga bagian itulah yang mendasari dibangunnya perpustakaan Indonesia atau, dengan kata lain, tempat berakarnya tumbuhan perpustakaan Indonesia.
Selanjutnya sehubungan dengan tujuan yang tersurat dalam Pembukaan UUD 1945 yaitu ikut menjaga ketertiban dunia, maka dirujuk kesepakatan internasional yang telah ditanda tangani. Dalam hal ini antara lain adalah: Manifesto Unesco tentang perpustakaan umum dan perpustakaan sekolah, serta kesepakatan dalam Millenium Development Goals (MDGs) dan World Summit of Information Society (WSIS). Perkembangan mutakhir yang terjadi dalam penyusunan peraturan perundang-undangan adalah juga rancangan undang-undang kebebasan memperoleh informasi publik (RUU-KMIP).
Sayang partisipasi pustakawan dalam proses RUU-KMIP sangat terbatas. Padahal ada pertanyaan mendasar yang mungkin saja akan menjadi polemik di antara pustakawan. Pertanyaan itu adalah: ¿Apakah informasi yang biasa dikelola pustakawan termasuk informasi publik?