Menggagas Kualitas Perpustakaan Perguruan Tinggi
Menggagas Kualitas Perpustakaan Perguruan Tinggi.
Majalah : Visi Pustaka Edisi : Vol. 14 No. 3 - Desember 2012
Abstrak
Sesuatu dapat dikatakan berkualitas jika memenuhi persyaratan-persyaratan kualitas yang telah ditentukan. Kualitas dapat diukur berdasarkan sebuah standar (acuan) yang diikutinya. Kualitas sebuah perpustakaan perguruan tinggi dapat diukur berdasarkan suatu standar pengelolaan perpustakaan yang diimplementasikan oleh perpustakaan tersebut.
Acuan standar yang dapat diiimplementasikan oleh perpustakaan perguruan tinggi dalam mencapai kualitas yaitu Standar Nasional Perguruan Tinggi SNI 7330:2009 atau Standar Nasional Perpustakaan SNP 010:2011. Acuan standar lainnya yang dapat diiimplementasikan oleh perpustakaan perguruan tinggi yakni ISO 11620:2008.
Selain acuan standar tersebut per-pustakaan perguruan tinggi juga dapat mengimplementasikan sistem manajemen mutu ISO 9001:2008 sebagai standar sistem manajemen mutu yang diakui secara internasional.
Suatu acuan standar yang diimplementasikan oleh perpustakaan perguruan tinggi akan sangat berdaya guna jika dalam implementasinya diikuti dengan akreditasi yang dilakukan oleh lembaga independen.
Pengantar
Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ke-4 tahun 2008 mengartikan ‘kualitas’ sebagai tingkat baik buruknya sesuatu. Secara tersurat, arti ‘kualitas’ yang dinyatakan oleh KBBI ter-sebut menggambarkan suatu tingkatan baik atau buruk yang mestinya didasarkan kepada suatu acuan yang digunakan.
Sesuatu dapat dinilai baik jika ada ukuran atau acuan peni-laiannya. Acuan penilaian pada umumnya berupa aturan standar yang telah ditetapkan dan disepakati untuk dilaksanakan, misalnya Standar Nasional Indonesia (SNI) Perpustakaan Perguruan Tinggi (SNI 7330:2009).
Acuan penilaian akan bermakna dan memiliki kekuatan jika pelaksanaannya diawasi (dimonitor) oleh lembaga penilai yang bersifat independen.
Sebagai contoh, di kalangan perguruan tinggi dan sekolah-sekolah di Indonesia telah berlangsung penilaian terhadap penyelenggaraan pendidikan yang dikenal dengan akreditasi.
Di dalam akreditasi sekolah atau perguruan tinggi tersebut tentu saja pihak yang diakreditasi adalah pihak yang harus memenuhi persyaratan-persyaratan yang telah ditentukan.
Akreditasi di bidang pendidikan yang dilaksanakan di Indonesia dapat dikatakan sebagai sebuah penilaian tingkat kualitas penyelenggaraan pendidikan oleh sebuah lembaga pendidikan tertentu.
Penilaian terhadap pelaksanaan suatu standar oleh lembaga independen akan menjadi cara pengukuran untuk menentukan kualitas suatu institusi atau kualitas seseorang dalam profesi tertentu.
Perpustakaan perguruan tinggi, sebagai sebuah institusi, agar kualitasnya terukur, maka perlu dilakukan penilaian (akreditasi) terhadap penyelenggaraannya. Suatu penilaian perpustakaan perguruan tinggi oleh lembaga independen yang didasarkan pada suatu acuan penilaian yang bersifat objektif dan transparan kiranya akan menjawab tingkat kualitas perguruan tinggi.
Jalan Menuju Perpustakaan Berkualitas
Perpustakaan perguruan tinggi (PPT) sebagai sebuah institusi, tentunya memiliki tujuan untuk berkembang ke arah yang lebih baik, terutama dalam hal memenuhi kebutuhan masyarakat akademik yang dilayaninya. Esensi dari sebuah penyelenggaraan PPT adalah terpenuhinya kebutuhan pustaka masyarakat akademik yang dilayaninya.
Jika dalam rangka penyelenggaraan PPT terdapat berbagai pedoman penyelenggaraan PPT yang perlu atau harus diikuti oleh sebuah PPT maka pedoman tersebut bersifat memandu agar PPT terselenggara secara lebih baik karena tentunya pedoman yang ditetapkan telah melalui suatu pengkajian dan pengujian oleh para pakar di bidang perpustakaan. Di sisi lain PPT diselenggarakan karena harus terpenuhinya persyaratan administratif penyelenggaraan perguruan tinggi.
Konsekuensi penyelenggaraan PPT adalah menghidupinya karena PPT yang diselenggarakan menjadi unit penyedia sumber informasi bagi para dosen dan mahasiswa dalam proses belajar, mengajar dan meneliti. Dihidupi berarti didukung oleh pimpinan perguruan tinggi dalam hal pemenuhan sumber daya finansial, kebutuhan pengembangan sumber daya manusia dan kebutuhan sumber daya lainnya.
Dihidupi juga dapat diartikan bahwa da-lam penyelenggaraan proses belajar mengajar dapat terjadi komunikasi ilmiah antara dosen dan mahasiswa melalui berbagai sumber ilmu pengetahuan yang disediakan oleh perusta-kaan.
Dalam rangka menghidupi perpustakaan, para pengajar dapat menjadikan perpustakaan sebagai ‘ruang publik’ antara mereka. ‘Ruang publik’ tersebut dapat dapat diartikan sebagai tempat berinteraksi antara dosen dan mahasiswa di luar kelas formal.
Dengan demikian jika hal-hal tersebut dapat berlangsung maka PPT bukan sekedar persyaratan administrasi suatu lembaga pendidikan tetapi merupakan pendukung yang sangat penting dalam proses belajar maupun menambah dan mengembangkan ilmu pengetahuan.
Menjadi PPT berkualitas, yang bukan sekedar memenuhi persyaratan administratif perguruan tinggi, dapat dicapai oleh setiap PPT di Indonesia. Pedoman penyelenggaraan PPT telah ditetapkan oleh pemerintah. Pedoman yang telah ditetapkan oleh pemerintah ter-sebut tentunya dimaksudkan sebagai pedoman penyelenggaraan PPT yang berkualitas.
Standar Nasional Indonesia Perpustakaan Perguruan Tinggi (SNI 7330:2009) yang diterbitkan oleh Badan Standarisasi Nasional pada tahun 2009 dapat menjadi acuan PPT di Indonesia untuk menjadi PPT yang berkualitas. Kualitas PPT yang digariskan oleh SNI 7330:2009 adalah kualitas PPT yang terukur karena SNI 7330:2009 adalah pedoman yang telah melalui pengkajian oleh para pakar.
Artinya PPT yang memenuhi persyaratan SNI adalah sebuah PPT yang berkualitas. Dapat dikatakan demikian karena persyaratan yang ditentukan di dalam SNI ditetapkan untuk memenuhi kebutuhan standar kualitas tertentu dan juga memenuhi prinsip keadilan dalam pengembangan sebuah PPT.
Prinsip keadilan yang termuat di dalamnya, misalnya penyusunan rasio perbandingan jumlah eksemplar koleksi terhadap jumlah mahasiswa yang harus dilayani, jadi bukan jumlah mutlak tetapi sebuah perbandingan antara jumlah eksemplar koleksi yang harus disediakan dengan jumlah mahasiswa yang dilayani.
Selain ruang lingkup dan definisi-definisi, SNI 7330:2009, memuat 12 persyaratan pokok yang dapat dipenuhi oleh PPT agar menjadi PPT yang berkualitas. Dua belas persyaratan yang dimaksud adalah :
Misi, Tujuan,Koleksi,Pengorganisasian materi perpustakaan, Pelestarian materi perpustakaan, Sumber daya manusia, Layanan perpustakaan, Penyelenggaraan perpustakaan, Gedung, Anggaran, Teknologi informasi dan komunikasi, Kerjasama perpustakaan.
Jika PPT di Indonesia, dalam pengelolaannya berpedoman pada SNI 7330:2009 maka PPT yang bersangkutan dapat dikatakan sebagai PPT yang berkualitas. SNI 7330:2009, sebagai salah satu ukuran standar kualitas PPT, belum tentu mudah untuk dilaksanakan di perguruan tinggi di Indonesia.
Kebijakan internal perguruan tinggi dapat menjadi kendala untuk melaksanakan SNI 7330:2009. Kebijakan internal perguruan tinggi tentang sumber daya manusia, tata kelola, dan penganggaran dapat menjadi kendala untuk menerapkan SNI 7330:2009.
Sebagai contoh, persyaratan no. 10 SNI 7330:2009 tentang ‘penyelenggaraan perpustakaan’ butir c, menyatakan bahwa : Kepala perpustakaan menjadi anggota senat akademik perguruan tinggi.
Jika persyaratan tersebut akan dipenuhi oleh perguruan tinggi yang bersangkutan maka, barangkali, perguruan tinggi yang bersangkutan harus mengubah statuta perguruan tingginya karena selama ini di banyak perguruan tinggi di Indonesia, kepala perpustakaan perguruan tinggi bukan sebagai anggota senat.
Artinya jika PPT menerapkan SNI maka seharusnya ada konsekuensi bagi perguruan tinggi untuk meninjau kembali tata kelolanya.
Di beberapa perguruan tinggi ‘pustakawan’ masih dipandang sebelah mata sehingga dipandang kurang penting untuk dilibatkan di dalam pengambilan keputusan di tingkat universitas.
Di beberapa perguruan tinggi perpustakaan dipandang sebagai unit kerja yang kurang strategis sehingga pengembangannya kurang mendapatkan prioritas. Dengan demikian jika pimpinan perguruan tinggi masih menganggap PPT sebagai unit yang kurang strategis maka penerapan SNI pun akan sulit karena adanya kendala di dalam perguruan tingginya.
Masih banyak contoh lain di SNI 7330:2009, yang jika diterapkan oleh PPT di Indonesia akan menemui kendala internal perguruan tingginya. Keadaan tersebut akan diperparah jika sebuah pedoman standar pemberlakuannya hanya bersifat opsional, tidak ada yang mengawasi dan tidak ada sanksi bagi perpustakaan maupun lembaga induk-nya.
Selain SNI 7330:2009, di Indonesia mulai dikenalkan Standar Nasional Perpustakaan Perguruan Tinggi (SNP 010:2011), yang diuji-publikkan pertama kali pada tanggal 2 Oktober 2012 di Yogyakarta.
Terlepas dari akan disyahkan sebagai SNP atau masih akan direvisi lagi oleh Perpustakaan Nasional RI setelah uji publik, SNP akan menjadi acuan pokok penyelenggaraan PPT di Indonesia sehingga PPT di Indonesia perlu mencermatinya agar dapat melaksanakannya.
Di luar ruang lingkup, istilah dan definisi, SNP memberikan 7 (tujuh) acuan pokok pengelolaan PPT, yang masing-masing acuan dijabarkan ke dalam sub-sub acuan. Tujuh acuan pokok dan sub-acuan yang ada di dalam SNP 010:2011, adalah sebagai berkut :
1. Koleksi
a. Jenis dan jumlah koleksi
b. Penambahan koleksi
c. Koleksi khusus
d. Bahan perpustakaan referensi
e. Pengorganisasian bahan perpustakaan
f. Cacah ulang
g. Penyiangan
h. Pelestarian bahan perpustakaan
2. Sarana dan Prasarana
a. Gedung/luasan gedung
b. Ruang
c. Sarana
d. Lokasi perpustakaan
3. Layanan
a. Jam buka perpustakaan
b. Jenis layanan perpustakaan
c. Laporan kegiatan
4. Tenaga
a. Jumlah tenaga
b. Kualifikasi kepala perpustakaan
c. Kualifikasi tenaga perpustakaan
5. Penyelenggaraan
a. Penyelenggaraan dan pendirian perpustakaan
b. Nomor Pokok Perpustakaan
c. Struktur organisasi
d. Program kerja
6. Pengelolaan
a. Visi perpustakaan
b. Misi perpustakaan
c. Tujuan perpustakaan
d. Kebijakan perpustakaan
e. Fungsi perpustakaan perguruan tinggi
f. Anggaran / Jumlah anggaran
7. Teknologi Informasi dan komunikasi
Bahan uji publik SNP, menurut hemat penulis, tidak akan jauh berbeda dengan SNP yang akan disyahkan kemudian. Jika SNP telah disyahkan maka PPT di Indonesia, jika ingin memperoleh predikat sebagai PPT yang berkualitas maka PPT dapat menerapkan SNP 010:2011 tersebut.
Acuan standar lainnya yang dapat digunakan oleh PPT adalah ISO 11620:2008 : Information and Documentation – Library Perfomance Indicators (sebelumnya ISO 11620:1998).
Di dalam ISO 11620:2008 terdapat indikator-indikator kinerja perpustakaan yang dapat digunakan untuk mengukur kualitas perpustakaan, misalnya indikator jumlah koleksi yang siap dipinjamkan kepada pengguna, indikator jumlah koleksi yang harus disediakan oleh sebuah perpustakaan, dan indikator-indikator lainnya yang dapat diterapkan oleh semua jenis perpustakaan baik besar maupun kecil.
ISO 11620:2008 dapat dijadikan sebagai acuan kinerja bagi perpustakaan-perpustakaan. Standar nasional maupun internasional perpustakaan yang ada dapat menjadi acuan pengukuran kualitas perpustakaan-perpustakaan.
Selain acuan-acuan standar yang ada, yang dapat diterapkan oleh PPT dalam meraih kualitas, hal yang tidak boleh dilupakan oleh setiap PPT adalah komitmen bersama para pengelola dan staf perpustakaan perguruan tinggi dalam membangun perpustakaan.
Komitmen bersama dalam mengembangkan perpustakaan dapat menjadi modal dasar dalam menyusun visi, misi, maupun kebijakan pengembangan perpustakaan. Tanpa komitmen bersama, sebagus-bagusnya suatu standar yang diterapkan, perpustakaan tersebut sulit untuk mencapai kulaitas tinggi.
Dalam konteks PPT, selain komitmen bersama antara pengelola dan staf perpustakaan, sangat diperlukan dukungan penuh lembaga induk. Dukungan lembaga induk dapat berupa kebijakan tertulis yang dijabarkan secara transparan dan dipahami serta dapat diterapkan oleh semua unit kerja di perguruan tinggi yang bersangkutan.
Gambar 1 dapat diterangkan secara sederhana bahwa kualitas PPT dapat dicapai jika para pengelola dan staf perpustakaan memiliki komitmen untuk mengembangkan PPT yang berkualitas. Jalan mencapai kualitas telah tersedia, yakni acuan-acuan standar yang telah ditetapkan baik yang bertaraf nasional maupun internasional.
Sistem Manajemen Perpustakaan Berbasis Sistem Manajemen Mutu ISO
Frasa Sistem Manajemen Mutu (SMM) adalah terjemahan dari Quality Management System (QMS). Kiranya, QMS juga dapat diterjemahkan menjadi Sistem Manajemen Kualitas (SMK).
Sebutan SMM dipakai karena kata quality diterjemahkan menjadi “mutu” (M), jika kata quality diterjemahkan menjadi “kualitas” maka sebutannya dapat menjadi SMK (Sistem Manajemen Kualitas).
Sistem manajemen mutu merupakan sistem manajemen yang distandarisasikan secara internasional dan yang saat ini berlaku dikenal dengan nama ISO 9001:2008.
1. Sistem Manajemen Mutu ISO
SMM ISO adalah suatu sistem manajemen mutu berstandar internasional. Sebagai suatu sistem manajemen, SMM ISO dapat diterapkan di semua organisasi baik kecil maupun besar, termasuk di dalamnya perpustakaan.
Suatu sistem manajemen kualitas merupakan sekumpulan prosedur terdokumentasi dan praktek-praktek standar untuk manajemen sistem yang bertujuan menjamin kesesuaian suatu proses dan produk terhadap kebutuhan atau persyaratan tertentu. Persyaratan ditentukan oleh atau dispesifikasikan oleh pelanggan dan organisasi (Gaspersz: 2005).
Dapat dikatakan secara sederhana bahwa sistem manajemen mutu ISO ialah sistem manajemen yang bertujuan untuk mencapai sistem manajemen yang bermutu yang didasarkan pada acuan sistem manajemen mutu ISO.
Dengan demikian suatu organisasi dapat menyandang predikat organisasi yang memenuhi standar manajemen mutu ISO jika organisasi tersebut mengimplementasikan persyaratan-persyaratan sistem manajemen mutu ISO (yang saat ini berlaku yaitu Sistem Manajemen Mutu ISO 9001:2008).
Organisasi berpredikat SMM ISO 9001:2008 dapat disandang oleh sebuah organisasi yang mengimple-mentasikan SMM ISO 9001:2008 dan dalam implementasinya diaudit oleh lembaga registrar independen secara periodik menurut tata cara audit SMM ISO.
Perpustakaan sebagai sebuah organisasi, dapat menerapkan SMM ISO 9001:2008 dengan konsekuensi memenuhi semua persyaratan sistem manajemen kualitas ISO 9001:2008.
2. Persyaratan SMM ISO
SMM ISO bukan merupakan standar produk karena tidak menyatakan persyaratan yang harus dipenuhi oleh sebuah produk baik barang maupun jasa. Sistem manajemen mutu ISO menyatakan syarat standar manajemen kualitas. Dengan demikian yang distandarkan adalah sistem manajemen kualitasnya bukan standar produk yang dihasilkannya.
Dalam hal pelaksanaan SMM ISO tidak ada pengujian terhadap kualitas produk tetapi yang ada adalah pengujian terhadap kualitas sistem manajemen.
Harapannya, tentu saja adalah bahwa produk yang dihasilkan oleh organisasi yang mengimplementasi SMM ISO adalah suatu produk yang berkualitas, meskipun tidak selalu. Namun secara nalar, suatu organisasi tentunya tidak akan membuat produk yang tidak berkualitas.
Persyaratan yang harus dipenuhi oleh sebuah organisasi yang menerapkan SMM ISO adalah pemenuhan ketentuan-ketentuan yang digariskan oleh SMM ISO 9001:2008, yang dinyatakan dalam klausul-klausul (clauses).
3. Implementasi Sistem Manajemen Mutu ISO di Perpustakaan Perguruan Tinggi
Organisasi yang menerapkan sistem manajemen mutu ISO harus menerapkan per-syaratan-persyaratan yang diperlukan dalam sistem manajemen mutu ISO.
Persyaratan-persyaratan yang harus diterapkan dikenal dengan sebutan klausul (clause). Organisasi yang menerapkan SMM ISO harus memiliki, mengimplementasi dan mendokumentasikan prosedur standar tertulis (prosedur kerja baku).
Secara khusus, organisasi harus memiliki, melaksanakan dan mendokumentasikan prosedur baku tertulis yang mencakup prosedur pengendalian dokumen (klausul 4.2.3), prosedur pengendalian catatan mutu (klausul 4.2.4), audit internal (klausul 8.2.2), pengendalian produk tidak sesuai (klausul 8.3), tindakan korektif (klausul 8.5.2), dan tindakan preventif (klausul 8.5.3).
PPT yang mengimplementasikan SMM ISO 9001:2008 harus mendokumentasikan prosedur tertulis yang dipersyaratkan oleh SMM ISO tersebut.
Selain itu, PPT yang mengimplementasikan SMM ISO perlu menyusun dokumen tertulis berupa Manual Kualitas (klausul 4.2.2), yakni dokumen tertulis mengenai berbagai hal yang akan dicapai dan dilakukan oleh organisasi dalam memenuhi klausul-klausul ISO sebagai persyaratan yang ditulis dan dilakukan oleh organisasi dalam mencapai kualitas tertentu yang ditetapkan.
Perpustakaan perguruan tinggi yang mengimplementasikan SMM ISO berarti menyepakati bahwa fungsi-fungsi dan aktivitas yang dilakukan oleh PPT tersebut dikendalikan oleh prosedur-prosedur.
Pengendalian fungsi-fungsi dan aktivitas organisasi melalui prosedur-prosedur yang telah ditetapkan memerlukan suatu komitmen bersama dalam pelaksanaannya karena suatu prosedur baku dapat dengan mudah menyimpang tanpa dilandasi oleh suatu komitmen dalam pelaksanannya. Pencapaian-pencapaian kualitas dapat diukur melalui sasaran-sasaran kualitas yang ditentukan oleh perpustakaan.
Perpustakaan yang menerapkan SMM ISO harus menciptakan kesadaran kualitas pada semua tingkatan di dalam perpustakaan. Kesadaran akan kualitas dapat dicapai melalui pelatihan-pelatihan tentang kualitas.
Kesadaran kualitas harus terus ditanamkan agar dalam pelaksanaan sistem manajemen mutu dilandasi oleh kesadaran bahwa fungsi-fungsi dan aktivitas yang dilaksa-nakannya adalah dalam rangka mencapai kualitas yang perlu terus ditingkatkan (continual improvement).
Kesadaran kualitas yang perlu terus dibangun oleh organisasi yang mengimplementasikan SMM ISO, sangatlah penting karena kesadaran tersebut menjadi dasar bagi setiap orang dalam organisasi dalam berkomitmen mencapai kualitas.
Tata cara yang kemudian harus dipenuhi oleh PPT yang menjalankan SMM ISO telah terbangun melalui kesadaran akan kualitas yang diimplementasikan dalam berbagai pro-sedur yang terdokumentasi dan dijalankannya.
Jika pada akhirnya harus dilakukan pemeriksaan (audit) terhadap sistem yang dijalankannya semestinya adalah pemeriksaan mengenai kesesuaian terhadap sistem manajemen dan bukan suatu penilaian terhadap prestasi yang telah dicapai. Kesesuaian dalam menjalankan sistem dan proses-proses adalah wujud nyata prestasi yang diperoleh.
SMM ISO bukan ciri khas perpustakaan. SMM ISO berlaku untuk semua jenis organisasi baik besar maupun kecil. SMM ISO tidak menyediakan acuan terhadap urusan pokok (core business) organisasi.
SMM ISO menyediakan acuan manajemen organisasi. Jadi jika perpustakaan menerapkan SMM ISO maka perpustakaan mengelola urusan pokoknya berdasarkan sistem manajemen ISO. Dengan demikian urusan pokok perpustakaan tetap eksis karena SMM ISO akan menjiwai sistem manajemen perpustakaannya.
Jadi, jika core business perpustakaan, misalnya pengembangan koleksi, pengolahan koleksi,dan pelayanan sirkulasi maka core business tersebut dikelola berdasarkan sistem manajemen mutu ISO.
Jika perpustakaan menerapkan SMM ISO maka di dalam setiap urusan pokoknya tersebut harus dipenuhi prosedur bakunya secara tertulis, harus ada instruksi kerjanya secara tertulis, dan harus ada catatan pelaksanaannya yang disimpan.
Misalnya, di dalam pelayanan sirkulasi, perpustakaan harus memiliki prosedur tertulis tentang peminjaman dan pengembalian bahan pustaka, yang dikonkretkan di dalam instruksi kerja, dilaksanakan secara konsisten, dan bukti pelaksanaannya disimpan sebagai catatan kualitas.
SMM ISO menggambarkan pendekatan proses sebagai berikut :
Dua kata kunci SMM ISO, yakni customer satisfaction dan continual improvement. Kepua-san pelanggan diukur secara periodik menggunakan tata cara pengukuruan yang lazim, se-dangkan pengembangan secara terus menerus dapat dicapai dengan menerapkan siklus PDCA (Plan Do Check Action) dalam proses implementasi suatu program kerja.
Plan : merencanakan kegiatan.
Do : melaksanakan/mengimplementasikan.
Check : mengevaluasi pelaksanaan dan hasil yang diperoleh.
Action : menindaklanjuti hasil evaluasi.
Melalui penerapan siklus PDCA dalam setiap kegiatan yang dilaksanakan maka semua aktivitas akan selalu diketahui kekurangan dan keberhasilannya.
D. Akreditasi Perpustakaan
Kualitas PPT dapat dicapai melalui implementasi berbagai standar yang telah ditetapkan baik standar nasional maupun internasional, baik standar khusus untuk perpustakaan maupun standar sistem manajemen mutu yang dapat diimplementasi oleh berbagai organisasi. Dalam kenyataannya, berbagai standar yang telah ditetapkan tidak mudah dilaksanakan oleh perpustakaan-perpustakaan.
Dalam berbagai kasus,‘pemaksaan’ implementasi standar kadang-kadang harus dilakukan agar standar yang telah ditetapkan diimplementasi oleh institusi yang mestinya menjalankannya. Sebagai contoh, SNI 7330:2009, yang telah ditetapkan sejak 2009, sampai dimanakah gaung standar tersebut.
Sejauh pantauan penulis tidak banyak yang telah mengimplementasikannya. Standar sudah dibuat dan akhirnya hanya akan tinggal sebagai standar yang tidak memiliki daya guna karena tidak diimplementasikan secara tegas.
Akreditasi adalah salah satu cara memantau implementasi standar. Berbagai standar yang telah ditetapkan, yang tujuan utamanya adalah meningkatkan mutu PPT yang mengimplementasikannya, tidak akan memiliki makna jika tidak dibarengi dengan penilaian pelaksanaannya melalui akreditasi.
Tanpa adanya akreditasi terhadap pelaksanaan standar tidak akan dapat diketahui sejauh mana suatu standar telah dilaksanakan. Melalui akreditasi, secara transparan akan diperoleh bukti-bukti bahwa sebuah PPT secara objektif dinilai oleh sebuah lembaga independen, dan dengan demikian klaim kualitas PPT bukan klaim sepihak.
Letak transparansi dan objektivitas dari akreditasi adalah pada standar kualitas yang dapat dipahami oleh siapapun, oleh berbagai jenis dan tingkatan perpustakaan di manapun. Maka suatu standar yang telah ditetapkan, baik berupa SNI, SNP maupun SMM ISO tidak akan berdaya guna tanpa diikuti oleh tindak anjut berupa akreditasi atau audit.
Pertanyaan selanjutnya adalah, setelah sebuah PPT terakreditasi, kemudian manfaat apakah yang diperoleh oleh PPT tersebut? PPT adalah lembaga di bawah perguruan tinggi.
Salah satu reward yang dapat diberikan bagi PPT yang terakreditasi adalah reward kepada perguruan tingginya, misalnya dalam akreditasi perguruan tinggi, lembaga induknya memperoleh nilai tambahan tertentu.
Dengan demikian, jika diberikan reward khusus kepada perguruan tinggi yang perpustakaannya terakreditasi, maka sangat dimungkinkan, dorongan lembaga induk terhadap pengembangan PPT akan dilakukan sepenuh hati dan PPT tidak hanya akan dilihat sebagai persyaratan administratif semata.
E. SNI, SNP, SMM ISO dan AKREDITASI PERPUSTAKAAN
SNI dan SNP adalah acuan standar pengelolaan perpustakaan di Indonesia. SMM ISO 9001:2008 adalah acuan standar internasional sistem manajemen mutu yang terawasi secara jelas oleh lembaga independen.
Implementasi SNI atau SNP yang diintegrasikan ke dalam implementasi SMM ISO 9001:2008, menurut hemat penulis, akan sangat memudahkan dan mendukung perpustakaan mencapai kualitas.
Pelaksanaan SNI atau SNP saja tanpa diintegrasikan dengan implementasi SMM ISO akan ada kekurangan karena monitoring implementasi SNI atau SNP yang, misalnya, dilaksanakan melalui akreditasi masih belum menjamin sistem manajemen mutu suatu perpustakaan.
Jika mengimplementasikan SMM ISO yang di dalamnya memasukkan SNI atau SNP maka secara tidak langsung akreditasi telah berlangsung pada saat audit SMM ISO yang pada umumnya dilakukan secara periodik dan terjadwal.
F. Kesimpulan
Mutu adalah ukuran baik buruk. Baik atau buruk selalu ada acuan standarnya. Acuan standar yang dapat dipakai oleh perpustakaan adalah SNI atau SNP. Acuan standar sistem manajemen mutu adalah ISO 9001:2008.
Jika perpustakaan mengimplementasikan SMM ISO dengan memasukkan ke dalamnya SNI atau SNP maka dapat dipastikan bahwa jika pada suatu saat dilakukan akreditasi terhadapnya, perpustakaan tersebut akan memperoleh predikat kualitas yang pasti dapat dipertanggungjawabkan.
Penulis: Paulus Suparmo [sumber: Majalah : Visi Pustaka Edisi : Vol. 14 No. 3 - Desember 2012]