Inspiratif: Dari Pojok Nusantara, Kini Jadi Pojok Cerpen
Inspiratif: Dari Pojok Nusantara, Kini Jadi Pojok Cerpen.
Dunia Perpustakaan | Masa muda adalah dimana masa-masa ini penuh dengan keinginan, dan jiwa semangat yang tinggi. Seperti yang dilakukan Wijaya Kusuma Eka Putra (24), yang mampu membangun usaha penerbitan dan toko buku sendiri.
Awalnya, dari sebuah kehausan akan literasi. Ketika akses membaca buku itu sulit diperolehnya semasa kecil karena keterbatasan wilayah yang ditinggalinya. Kini, Wijaya Kusuma Eka Putra, 24, tak hanya mampu mengumpulkan ribuan buku, tetapi juga membangun usaha penerbitan dan toko buku sendiri.
Eka, demikian anak muda kelahiran Sleman ini disapa. Dibesarkan di Bumi Cendrawasih, nyaris membuat Eka tak mengenal literasi. Buku-buku yang hanya dapat dibacanya ketika kali pertama dapat membaca, hanyalah majalah anak-anak. Itu pun majalah yang mungkin ketinggalan jaman karena baru beredar di tempat tinggalnya tiga bulan setelah diterbitkan.
Ayahnya seorang transmigran dari Jawa yang hijrah ke Serui, Papua. Agar anak-anaknya tetap mengenal buku atau literasi, majalah anak-anak yang cukup populer kala itu seolah menjadi buah tangan yang sangat bermanfaat.
“Ayah sering membelikan majalah tersebut, sehingga sejak itu aku menjadi tidak kaku pada literasi. Apalagi majalah itu banyak mengulas berbagai pengetahuan,” ujar Eka saat berbincang santai dengan Harianjogja.com di Dongeng Kopi, belum lama ini.
Di daerah-daerah terpencil seperti Indonesia Timur, persoalan literasi terkadang menjadi masalah utama. Toko buku hampir tidak ada di wilayah tempat tinggalnya saat masih berada di Papua.
Bahkan, fasilitas dan akses ke perpustakaan kurang memadai. Buku-bukunya pun sebagian besar tidak rekomendasi bagi anak-anak seusianya kala itu.
Seperti anak-anak remaja seusianya, selepas menamatkan bangku sekolah dasar, masa remaja kurang peduli pada literasi. Namun, bermunculannya roman-roman populer seperti Laskar Pelangi karya Andrea Hinata, Ayat-Ayat Cinta dan sejenisnya, kembali menarik Eka pada dunia buku.
Dikutip dari harianjogja.com [11/04/16]. “Itu kali pertamanya mulai membaca buku-buku yang lebih tebal. Bahkan, aku cukup rakus membacanya,” ungkap Eka.
Hobi itu tak lantas pudar ketika Eka mulai hijrah ke Jogja untuk kuliah. Alumni jurusan muamalat Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Jogja ini justru kian getol berburu buku. Di kampus inilah dia menyadari minat akan literasi begitu kuat.
Di sanalah kali pertamanya Eka mengenal karya-karya dari sejumlah penulis ternama, sebut saja Hamzah Rangkuti, Joni Aryadinata, Senogumiro dan lain sebagainya.
Tak cukup puas membaca buku di perpustakaan kampus. Eka bahkan rela menyusuri perpustakaan yang ada di seluruh Jogja, dari kampus-kampus, perpustakaan kota hingga perpustakaan daerah.
“Kalau bosan, aku akan ke perpustakaan kota, perpustakaan provinsi, di sana bukunya bagus-bagus. Paling jauh ke perpustakaan Bantul, di mana di perpustakaan ini aku bisa menemukan buku yang selama ini sulit ditemukan, seperti puisi karya Wiji Tukul hingga cerpen-cerpen dunia terjemaahan Sapardi,” papar Eka. Holy Kartika N.S
Rajin Beli Buku Hingga Buka Lapak Di Kampus
Ketika buku terlalu banyak yang dibaca, hasrat ingin memiliki buku mulai mengusik pemuda kelahiran Sleman, 31 Desember 1991 itu. Sedikit demi sedikit, sebagian uang yang diperolehnya disisihkan untuk membeli buku.
Bahkan, demi buku, terkadang Eka melebihkan uang kiriman dari orang tuanya. Eka juga sempat mengajar les matematika hanya demi mendapatkan uang untuk membeli buku-buku favoritnya.
“Sampai pada titik, di mana aku tidak bisa terus membohongi orang tua. Akhirnya terpikir untuk menjual buku, setelah melihat banyak buku yang tertumpuk di kamar, beberapa dobel. Buku-buku seperti teenlit dan yang sudah tidak lagi relevan, lalu aku jual,” tukas Eka.
Media sosial yang cukup marak kala itu, Facebook, memberinya ruang yang lebih luas untuk berinteraksi dengan sesama penikmat buku dan dengan para pedagang buku. Lewat akun Pojok Cerpen, banyak pecinta buku, penulis hingga penerbit membaur berbincang hingga berbagi info tentang buku.
Lewat media sosial itulah, sirkulasi usaha buku mulai dirintisnya. Mulanya, buku-buku lama miliknya yang tak lagi relevan dijajakan melalui situs jejaring sosial tersebut. “Lalu buku yang tidak aku punya, kujual untuk membeli buku yang aku suka,” ungkap Eka.
Tak cukup memajang buku-buku di akun Pojok Cerpen miliknya. Di kampus, Eka juga melakukan pendekatan persuasif kepada teman sekampusnya agar mau membeli buku-buku miliknya. Bahkan, tak jarang Eka menggelar lapak di ruang-ruang publik di dalam kampus dengan menggandeng organisasi kampus yang disinggahinya.
“Semakin lama, apa yang aku lakukan itu semakin besar dampaknya. Akhirnya, aku harus mulai membedakan jualan buku sebagai bisnis, dan jualan buku sebagai pemenuhan kebutuhanku. Sebagai bisnis, usaha ini harus memenuhiku secara personal dan kita harus punya tabungan. Secara hobi kita tidak perlu beli buku,” jelas Eka.