Kemunduran Umat Islam Karena Umatnya Malas Membaca!
Banyak tokoh berpendapat kemunduran umat Islam salah satu penyebabnya karena Umat Muslim saat ini sudah malas Membaca. Budaya membaca yang bisa melahirkan kemajuan dibidang pengetahuan dan teknologi ditinggalkan banyak umat muslim dunia.
[BACA JUGA: Rahasia Produktivitas Ulama dalam Bidang Buku, Tulisan, dan Ilmu Pengetahuan pada Masa Kejayaan Islam]
Tidak sedikit umat Islam yang lebih suka menjelek-jelekan agama lain bahkan tidak sedikit yang hanya fanatik terhadap kelompok mereka sendiri, mereka dengan tidak punya rasa malu menuduh saudara semuslim sendiri sebagai seorang Yahudi atau dengan sebutan kafir.
Hal ini tentunya sangat jauh sekali dari ajaran Islam yang mewajibkan umatnya untuk rajin membaca sebagaimana ayat pertama dalam Al-Quran diturunkan yang berbunyi IQRA!, Bacalah !
Malasnya umat Islam membaca menjadikan pola pikir dan pemikiran mereka serta pengetahuan mereka menjadi dangkal dan mudah emosi serta mudah terprovokasi. Bahkan yang paling ditakutkan jika karena kekurangtahuan sekelompok muslim mereka hanya dijadikan alat politik untuk mendukung partai tertentu. Hal ini tentunya sangat memprihatinkan.
[Baca juga: “Netizen Indonesia, Minat Baca Rendah tapi Paling Cerewet di Dunia!” ]
Umat muslim sangat mudah terprovokasi dan dimanfaatkan oleh kelompok tertentu hanya untuk tujuan kekuasaan dan elit partai mereka. Sedangkan umat selain muslim mereka setiap hari membaca buku, menciptakan teknologi dan melakukan berbagai penelitian untuk menguasai ilmu pengetahuan serta ekonomi dunia.
Dari sinilah sebenarnya penyadaran dan pentingnya aktivitas membaca untuk umat muslim diperlukan.
Sejarah mencatat bagaimana kejayaan Islam dimasa lalu karena umat Islam dibangun dengan budaya baca yang sangat tinggi. Begitu besar minat baca umat muslim saat itu kemudian bisa melahirkan ilmuwan-ilmuwan besar seperti Ibnu Syna, Ibnu Rusdy, Imam Ghazali, dan masih banyak lagi yang lainya.
Masjid-masjid tidak hanya digunakan untuk mempelajari Al-Quran saja tapi juga mempelajari ilmu-ilmu pengetahuan umum dan teknologi. Masjid di saat itu juga menyediakan perpustakaan yang menyediakan buku-buku yang dipelajari oleh umat Islam.
Masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim ternyata juga memiliki budaya baca yang masih rendah jika dibandingkan dengan negara lain. Hal ini diperparah dengan masih minimnya fasilitas-fasilitas perpustakaan yang dikelola dengan baik sehingga masyarakat menjadi tidak tertarik untuk datang ke perpustakaan.
Dahulu, di era kejayaan Islam, hampir setiap Masjid memiliki Perpustakaan, Sekarang?
Benar-benar teramat sangat tragis dan menyedihkan!
Disaat ayat pertama Kitab Suci Al-Quran memerintahkan agar umat Islam MEMBACA dan MEMBACA, tapi ironisnya, teramat sangat banyak [mayoritas] muslim justru banyak yang MALAS MEMBACA
Entah sampai kapan umat Islam TERSADARKAN dengan kondisi yang teramat sangat memilukan ini.
Jika anda seorang muslim, silahkan mari kita sebagai sesama muslim saling mengingatkan dalam kebaikan dan menyebarkan pemikiran-pemikiran seperti ini ke sesama muslim agar seluruh muslim TERSADARKAN untuk kembali membangkitkan semangat membaca!
Tulisan ini memang sangat panjang, tapi mohon baca hingga selesai jika memanga nda seorang muslim yang ingin berubah lebih baik dengan menjalankan perintah ayat pertama turun dalam Al-Qur'an IQRA! Bacalah!
Dikutip dari harianhaluan.com (7/9/13), Sastarawan ternama Taufiq Ismail dalam roadshow 2013 Publikasi Gerakan Indonesia Membaca dengan tema Perpustakaan Sahabat Terbaik Keluarga Indonesia, mengemukakan budaya baca pelajar dan generasi muda Indonesia masih rendah jika dibandingkan dengan negara tetangga di kawasan Asia apalagi negara maju seperti Eropa dan Amerika.
Bukankah masyarakat Indonesia hampir 90% beragama Islam?
Berdasar perbandingan angka yang ada, rata-rata pelajar sekolah menengah atas di Thailand dan Singapura membaca 5-7 buku pertahun. Di Amerika dan Eropa bahkan mencapai 32 buku. Namun di Indonesia nol buku per tiga tahun. Hal itu dikarenakan kebijakan pemerintah lebih fokus membangun infrastruktur sehingga perhatian terhadap pelajaran bahasa dan sastra diabaikan (Haluan Kepri, 25 Agustus 2013).
Rendahnya minat baca bagi masyarakat Indonesia sebagaimana dikemukakan Tauifq Ismail adalah kenyataan yang tak terbantahkan. Penyebabnya bukan saja oleh kebijakan pemerintah yang lebih berorientasi pada pembangunan fisik, melainkan karena membaca belum merupakan panggilan teologis. Yakni bagian keimanan yang harus direalisasikan dalam kehidupan.
Berbagai pusat perbukuan seperti Perpustakaan nasional, daerah, sekolah, perguruan tinggi rata-rata sepi dengan pengunjung. Mereka (pengunjung) baru akan datang ke perpustakaan atau pusat perbukuan jika ada tugas atau kegiatan atau program yang dibuat. Selebihnya mereka jarang atau tidak akan datang mengunjungi perpustakaan atau pusat perbukuan.
Sementara mal, supermarket, pusat rekreasi dan hiburan ramai setiap saat. Mereka, para pelajar dan mahasiswa, berduyun-duyun datang ke mal, supermarket dan pusat hiburan maupun rekreasi.
Kegiatan membaca dan mengunjungi perpustakaan guna menambah pengetahuan dan ilmu masih dianggap belum menjadi panggilan hidup apalagi panggilan teologis. Sementara hal-hal yang dapat memenuhi selera rendah, glamour dan instan, dianggap merupakan kebutuhan mendasar-bahkan mengalahkan panggilan keyakinan agama yang mereka anut.
Padahal membaca adalah kebutuhan mendasar bagi manusia, terutama dalam mengaktualisasikan potensi dirinya.
Dalam Islam, bahkan membaca merupakan panggilan teologis atau keyakinan yang harus direalisasikan sebagai bukti kehambaan kita kepada Allah SWT.
Membaca bagian yang tak terpisahkan akan keyakinan kita kepada Allah SWT. Salah satu perintah yang sejajar dengan perintah salat, zakat, puasa dan jihad adalah membaca.
Bahkan membaca merupakan perintah yang pertama yang diterima Nabi Muhammad SAW sebagaimana terdapat dalam Surat Al-Alaq;1-5), yakni Iqra (Bacalah).
Jadi perintah pertama, bukan salat, zakat, puasa dan jihad melainkan membaca. Betapa mendasarnya teologi membaca dalam Islam itu sendiri. Karena itu, selain menekankan betapa pentingnya membaca, Alquran juga menjelaskan bahwa bahwa ada dua syarat yang harus dipenuhi dalam membaca.
Pertama, bacalah dengan nama Rabb-mu yang telah menciptakan. Itu artinya, aktivitas membaca harus dapat mendekatkan diri kepada Allah. Bukan sebaliknya, membuat Allah murka atau membaca sesuatu yang justru menjauhkan diri kepada Allah. Itu artinya, kualitas yang dibaca menjadi penting dalam Islam.
Membaca bukan sekedar hobi tapi merupakan kebutuhan mendasar dan prioritas. Karenanya, Rasulullah membebaskan para tawanan perang, jika mereka mau mengajarkan umat Islam membaca dan menulis. Ini merupakan bukti betapa pentingnya membaca dalam pandangan teologi Islam.
Kedua, kegiatan membaca yang kemudian melahirkan wawasan, pemikiran, gagasan, penemuan, pengetahuan, dan ilmu yang didapati oleh kita tidak boleh menjadikan kita sombong, angkuh dan bahkan melahirkan kemudaratan bagi orang lain akibat ilmu kita. Makanya dalam Islam, ilmu tidak bebas nilai, tapi ia harus bersandar pada keimanan (teologis) dan syariat Islam. Karena itu tidak boleh melahirkan kerusakan bagi orang lain.
“Bacalah dan Rabb-mulah yang Maha Pemurah, yang telah mengajarkan manusia dengan pena. Dia-lah yang mengajar manusia apa yang tidak diketahuinya” (Qs. Al-Alaq 1-5).
Membaca dalam perspektif teologi Islam tidak sebatas membaca teks. Quraish Shibab dalam bukunya Membumikan Alquran; menjelaskan makna iqra, bukan sekedar membaca, melainkan mencakup kegiatan observasi, pengamatan, penelitian dan pengembangan.
Jadi seluruh kegiatan yang mendalami, menggali dan pengembangan terhadap berbagai potensi dan kurnia Allah baik di darat, laut dan udara, adalah bagian dari aktivitas membaca.
Jadi membaca akan melahirkan kemajuan dan kegemilangan. Karena ia akan memacu berbagai penemuan, pendalaman dan pengembangan berbagai teori bagi kemajuan budaya dan peradaban manusia.
Dalam sejarah Islam kita mencatat bahwa perpustakaan Islam menjadi perhatian utama dari para khalifah. Maka tidak mengherankan jika sejarah mencatat bahwa perpustakaan umat Islam pada waktu itu sangatlah besar dan baik di dunia.
Diantaranya, perpustakaan Bagdad, Kardova. Isybiliah, Gharnathah, Kairo, Damaskus, Tarabulus, Madinah dan Al-Quds.
Namun kini umat Islam mengalami berbagai kemunduran dalam aktivitas membaca. Terutama membaca dalam pengertian yang berkualitas yang menghasilkan ilmu, menghasilkan keterampilan khusus dan meraih pengetahuan yang tinggi.
Membaca sekedar memenuhi fungsi hobi rekreasi dan hiburan. Membaca bukan lagi kebutuhan mendasar dan panggilan teologis sebagaimana telah dipraktikkan Rasulullah dengan menebus tawanan yang mau mengajarkan umat Islam membaca.
Tidak salah jika salah seorang Yahudi sebagaimana dikutip DR Raghib As-Sirjani dalam bukunya; Spritual Reading; hidup lebih bermakna dengan membaca; terbitan Aqwam 2007, mengatakan bahwa “Kita orang yahudi tidak takut dengan umat Islam, karena umat Islam adalah umat yang tidak membaca”.
Implikasinya, umat Islam tidak lagi menjadi kiblat pengembangan ilmu dan teknologi. Berbagai kemajuan dan penemuan umat Islam seperti ilmu kedokteran oleh Ibnu Sina, sosiologi –Ibnu Kaldun, filsafat Al-Farabi, al-Kindi, dllnya justru menjadi milik dunia Barat. Umat Islam justru menjadi konsumen atau pemamah intelektual meminjam istilah DR Syafii Maarif.
Seiring dengan kebangkitan umat Islam abad 21 dan realitas yang ada sekarang ini, maka tidak ada pilihan dimana umat Islam harus kembali menjadikan kegiatan membaca sebagai panggilan teologis yang sejajar dengan kegiatan ritual lainnya.
Membaca, meneliti, mengobservasi dan mendalami berbagai teori, paradigma dan disiplin keilmuan jauh lebih penting dari sejumlah kegiatan ritual yang berorientasi pribadi.
Bahkan kemunduran umat Islam dibidang keilmuan, karena segala sesuatu hanya dinisbah kepada ritual. Contohnya ilmi falaq menjadi mandeg atau tidak berkembang lagi, karena dianggap sudah selesai, ketika umat Islam sudah bisa menentukan arah Kiblat dalam salat. Ilmu jiwa menjadi mandek, karena ia sudah dapat mengantarkan orang untuk tahu akan potensi keagamaan dan penyakit kejiwaan.
Pengembangan ilmu dalam konteks epistimologis amat sedikit dilakukan. Karena itu pula, kenapa kajian atau studi-studi keislaman yang dilakukan di berbagai perguruan tinggi Islam, lebih dominan menggunakan pendekatan dogmatis, ketimbang menggunakan pendekatan ilmiah.
Sebab tujuan utamanya adalah untuk menunjang agar mahasiswa dapat beribadah dengan baik dan loyal-walaupun pasif kepada doktrin Islam.
Mestinya, kajian atau studi keislaman lebih diarahkan perwujudan seorang agamawan dan sekaligus seorang ilmuwan. Dengan demikian studi Islam tidak saja melulu memakai pendekatan dogmatis atau teologis, melainkan juga diimbangi dengan pendekatan ilmiah atau pendekatan historis.
Ke depan, selain mengembalikan membaca sebagai panggilan teologis, hal lain yang mendesak dilakukan adalah bagaimana membangun suasana dan budaya baca terutama di kalangan keluarga.
Setiap keluarga hendaknya memiliki perpustakaan di rumahnya dan aktivitas membaca menjadi bagian dari kebutuhan hidup yang sama dengan kebutuhan akan makan dan minum.
Jika hal ini sudah terbangun, maka tugas pemerintah adalah menyediakan buku-buku murah tapi berkualitas. Memberikan apresiasi dan bantuan bagi para aktivis perbukuan, penulis dan komunitas baca di berbagai tempat.
Jika hal ini dilakukan secara terus menerus dan terintegrasi antara berbagai departemen dan lembaga, maka bukan mustahil budaya baca masyarakat kita akan sejajar dengan bangsa dan negara lain. Tanpa itu dilakukan, maka kita akan terus meratap dan menyaksikan betapa rendahnya budaya baca masyarakat kita.
Sebagai tambahan pengetahuan dan wawasan kita, berikut ini juga penulis sisipkan sebuah tulisan dari Indra Yadi melalui blognya yang selayaknya bisa menjadi renungan dan koreksi diri kita yang selama ini lebih sering menyalahkan pihak lain termasuk orang-orang Yahudi akan tetapi kita lupa untuk melakukan KOREKSI DIRI.
Moshe Dayan seorang politisi dan pimpinan militer Israel berkata “Ada 3 kelemahan muslim saat ini,
- Mereka malas,
- Mereka tidak mempelajari sejarahnya sendiri,
- Mereka itu kaum yang spontan dan tak terencana.
Di lain waktu, Moshe Dayan berujar, “Apakah kalian pikir orang Arab akan pernah bisa mengalahkan kalian?” Dia menjawab, “Tidak sampai mereka terlebih dulu belajar bagaimana membuat garis lurus ketika naik bus.” (maksudnya berbaris rapi dan naik bus satu per satu, tidak bergerombolan dan berebutan seperti yang umumnya kita lakukan).
Setelah mengungkap rencana Zionis untuk menduduki Palestina–dipublikasikan pertamakali lima puluh tahun sebelum Pendudukan-mantan Menteri Pertahanan Israel Moshe Dayan ditanya dalam sebuah wawancara: “Apakah Anda tidak takut orang-orang Arab akan membaca rencana Anda dan mempersiapkan diri mereka?” Tanggapannya,”Yakinlah, orang-orang Arab adalah bangsa yang tidak membaca, dan jika mereka membaca mereka tidak mengerti, dan jika mereka memahami mereka tidak bertindak.”
DR Raghib As-Sirjani dalam sebuah buku mengutip kalimat seorang Yahudi, “Kita orang Yahudi tidak takut dengan umat Islam, karena umat Islam adalah umat yang tidak gemar membaca”.
Marah dikatakan seperti itu ? untuk apa, memang terbukti bahwa muslim tak suka membaca.
Bagaimana dengan negeri kita Indonesia ? ya, lebih kurang sama. negeri yang mayoritasnya beragama islam dan jumlahnya terbesar di dunia, dengan kata lain kaum yang tidak gemar membaca sebagian besar ada disini. Bermukim ditengah tengah kita, atau mungkin penulis sendiri.
Terbukti, bahwa masyarakat indonesia atau kalau boleh disebut muslim indonesia adalam kaum yang tak suka membaca!
Inilah beberapa faktanya.
Pertama, Survei prestasi membaca anak indonesia dalam Progress of International Reading Literacy Study 2011 menempati peringkar 42 dari 45 negara.
Kedua, beradarkan rilis dari beritamaluku.com
- Indeks kegemaran membaca orang pribumi hanya 0.001. Artinya, dari seribu penduduk Indonesia hanya satu orang yang gemar membaca. Bandingkan dengan Singapura, ada 45 orang gemar membaca dari jumlah survei 100 orang.
- Waktu membaca per hari di USA dan Jepang, rata rata jumlahnya 8 jam. Sedangkan Indonesia, hanya 2 jam dalam sehari. Masyarakat kita habis waktunya oleh bergosip, main game bertema kekerasan dan menonton di saluran tak mendidik.
- Di Negara maju, siswa sekolah menengah wajib khatam membaca sejumlah buku. terutama karya sastra, sebelum menyelesaikan studinya. Misalnya, Perancis dan Belanda 22-23 buku per tahun, Jepang 15 buku per tahun, Malaysia 6 buku per tahun, Thailand 6 buku per tahun, Hindia Belanda(Indonesia) 25 buku per tahun.
Lantas, dengan kondisi seburuk itu Indeks Pembangunan Manusia negeri ini berada di posisi 117 dari 175 negara. Kabarnya, Indonesia akan menjadi kiblat muslim di seluruh dunia! Berkah ataukah Musibah ?
JANGAN HANYA MENYALAHKAN YAHUDI
Kita bodoh karena kita tak suka membaca, setidaknya itu yang mesti diakui. Tiada guna mengatakan “Yahudi Musuh Islam, mereka jahat, mereka menghancurkan islam!” Ngomong aja mah gampang, So What? lalu apa upaya muslim agar tak mudah dibodohi dan dizalimi!!?
Syekh Umar Tilmisani berkata “Jangan sampai kalian hanya bisa melaknat orang zalim, tetapi pikirkanlah bagaimana menghentikan kezalimannya itu?!”
Tidak salah, kalau mereka bisa menghancurkan umat islam. Sebab mereka dikenal suka meahap buku, oleh karena itu jadi mengetahui sejarah islam dan peradabannya dan itu modal besar untuk memperdaya bangsa islam.
Umat islam Indonesia terlalu banyak wacana. Sudah bodoh, omdo pula. Kita cuma bisa nyalahin orang dan nyalahin keadaan, lupa akan koreksi diri.
REAKSINYA HANYA BUNUH DAN BAKAR
Saat kita banyak baca, kita akan bisa menulis dengan baik. Dengan menulis, kita bisa melawan segala fitnah dan pembodohan dari umat dan sekte lain. Melawan dengan cara ilmiah, bukan reaktif atau ancaman.
Ketika kawan saya melakukkan penelitian untuk tesisnya tentang penerbitan buku, Da Vinci Code di Indonesia. Awalnya khawatir akan menyinggung rasa keragaman katholik, ternyata
penerbit memandang umat ini jauh lebih demokratis, terbuka, dan tak bertindak kekerasan dibanding kalangan Islam. Biasanya, bila ada kritik, mereka menanggapinya secara kritis pula. Ini terbukti dengan terbitnya banyak buku dan digelarnya forum-forum diskusi untuk mengkritisi atau mengiringi karya Dan Brown tersebut. Demikian hasil diskusi informal penerbit tersebut dengan anggota Indonesian Conference, Religion, and Peace (ICRP) dari kalangan Kristen/Katolik.
“Menurut mereka, umat Kristen itu tidak seperti Islam. Mereka tidak frontal. Biasanya mereka akan menjawab (buku) dengan buku.”
Oh, Tuhan. Betapa sudah tak anggun umat ini di mata umat lain. Beringasan, tidak punya tradisi menulis dan membaca. Penulis iri dengan umat yang membalas buku dengan buku, bukan dengan ancaman dan pembakaran. Mereka dengan tenang menanggapi semua itu dan mereka tahu tulisan akan lebih abadi dan akan membuka pemahaman dibanding sikap beringas yang kampungan.
HIJRAH DENGAN MEMBACA
Marilah kita buat perubahan islam dengan jadi umat yang lebih berwawasan dan berperadaban dalamuslim sikap dan pemikiran. HIJRAH DENGAN MEMBACA, setidaknya itulah hal mudah yang saat ini bisa dilakukkan. Hal remeh temeh namun, berdampak berarti bagi suatu bangsa. MEMBACA, memangnya mau apa ? jihad ke Palestina, jihad ke Mesir !? Malah mati konyol lo!!
Rasulullah SAW menyuruh umatnya untuk IQRA, bukan dengan BUNUH, HANCURKAN dan BAKAR. Membaca adalah bukti kecintaan kita kepada tuhan dan rasul Nya, itulah perintah pertama untuk jadi umat yang beradab dan maju.
Aneh rasanya, jika umat islam dapat perintah IQRA tetapi umat lain yang melaksanakannya. Maka dari itu, jangan menyalahkan muslim tak suka baca. saat ini, diinjak dan dijadikan keset oleh umat beragama lain hobi melahap bacaan.
Jika dalam membaca tulisan ini anda masih juga marah, dan menghujat, serta menyalahkan orang lain dan tidak mau koreksi diri kita sendiri, maka sesungguhnya itu menunjukan tentang seperti apa Pribadi kita. Silahkan anda bagikan tulisan ini untuk membangkitkan semangat umat muslim untuk rajin MEMBACA dan MEMBACA mulai detik ini juga!.
Untuk yang Muslim, mohon kesediaanya menyebarkan tulisan ini ke saudara sesama muslim untuk membangkitkan semangat MEMBACA dan MENULIS dikalangan umat Muslim sebagaimana dilakukan umat muslim saat masa kejayaanya.
Daripada meributkan soal sedikit perbedaan, akan tetapi kita justru melupakan dan mengabaikan sebuah cara yang seharusnya SAMA-SAMA kita lakukan yaitu membuat perubahan secara bersama-sama membangkitkan kembali semangat MEMBACA dan MENULIS dikalangan umat Islam tanpa melihat aliran dan golongan. Apapun aliran Islam kita, selama Islam yuk, sebarkan semangat BUDAYA MEMBACA dan MENULIS untuk meraih kejayaan Islam kembali!