Hari-hari Buku dan Budaya Baca
Hari-hari Buku dan Budaya Baca.
Dunia Perpustakaan | Paling tidak ada empat hari dalam setahun kita diingatkan tentang buku dan budaya membaca, dan untuk tahun ini 2016 telah berlalu, yaitu; Hari Buku Anak Sedunia 2 April, Hari Buku Internasional 23 April, dan Hari Buku Nasional pada 17 Mei. Sementara satu lagi kita diingatkan kembali pada 8 September kemarin sebagai Hari Aksara Internasional.
Terlepas bahwa setiap penentuan hari itu ada sejarahnya atau awal mula kenapa ditetapkannya maka kita tentu bersyukur adanya beberapa hari dalam setahun yang mengingatkan kita pada pentingnya buku dan budaya membaca. Sehingga tiap kali kita terlalaikan oleh berbagai kesibukan maka hari-hari buku itu mengembalikan kita pada hal asasi yang tidak boleh terlupakan.
Dan ia juga menjadi timing (waktu) untuk mengevaluasi kembali pencapaian naik turunnya budaya membaca kita dari tahun ke tahun. Apakah budaya membaca di negeri ini kian meningkat, tetap atau malah semakin menurun.
Tahun 2012 Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) merilis hasil surveinya bahwa Indonesia berada di peringkat paling bawah dalam minat baca di kawasan Asia Timur. Demikian pula dengan survei UNESCO di tahun yang sama menyatakan bahwa minat baca masyarakat Indonesia 1 banding 1000.
Ia menyebutkan bahwa rata-rata masyarakat kita hanya menyelesaikan 1 buku dalam setahun. Sementara masyarakat Jepang 10 hingga 15 buku, dan Amerika Serikat 20 hingga 30 buku yang mereka baca di setiap tahunnya.
Bila dua survei di atas berlangsung empat tahun yang lalu, bagaimana dengan hari ini, 2016? Maka survei terbaru yang dilakukan oleh Central Connecticut State University pada kategori Most Literate Nations in the World Indonesia menempati peringkat 60 dari 61 negara lainnya.
Tentunya data-data ini tidak boleh membuat kita semakin melemah, bahkan ini mestinya menjadi pemicu kita semua untuk bangkit bersama dalam meningkatkan budaya membaca di tengah-tengah masyarat negeri ini.
Dan geliat ke arah itu telah kita lihat pada keseriusan Menteri Pendidikan sekarang Anies Baswedan yang terus mengkampanyekan melek literasi dan gerakan membaca, baik dalam kebijakan-kebijakannya, maupun pada pidato-pidato yang sampaikannya di berbagai tempat dan kesempatan.
Kita dan budaya membaca sebenarnya punya akar yang sangat kuat. Para pendiri bangsa ini (founding fathers) adalah orang-orang yang sangat memuliakan buku dan gemar membaca. Sebutlah misalnya bung Hatta yang sepulang dari studinya di Roterdam Belanda tahun 1932 mengepaki 17 buah koper dan hanya satu yang berisi pakaian, selebihnya adalah buku-buku.
Tidaklah kita dapati makna lainnya kecuali ia seorang yang sangat gila membaca. Buku-buku jugalah yang menemaninya ketika berada di penjara Boven Digoel, “Aku rela dipenjara asalkan bersama buku, karena dengan buku aku bebas,” ujarnya. Dan di hari pernikahannya bukulah yang ia berikan pada Rahmi Rachim sebagai maharnya, buku itu berjudul Alam Pikiran Yunani.
Sementara bung Karno sejak usia 16 tahun ia juga telah gemar membaca karya-karya besar dunia, seperti Declaration of independence yang disusun oleh Jeffereson. Dan melalui buku juga ia mengenal ide-ide Lincon, Paul Revere dan George Washington.
Bahkan anak dari Residen Bengkulu di masa penjajahan, Hooikas Jr takjub melihat buku-buku yang dikundang bung Karno ketika ia diasing ke sana. “Orang muda, saya harus belajar giat sekali. Insya Allah saya kan jadi presiden negeri ini,” demikian jawabnya ketika ditanya kenapa berlama-lama duduk dan hanya ditemani buku-buku.
Buku betul-betul menjadi Jendela Dunia, bahkan Cicero mengatakan, “A room without books is like a body without souls” sebuah ruangan tanpa ada buku di sana seperti tubuh yang tidak ada lagi jiwanya. Dengan membaca bukulah kita bisa mendapatkan informasi dari berbagai belahan bumi ini. Bahkan seorang pembaca terkadang lebih tahu tentang seluk beluk suatu tempat atau wilayah dari pada mereka yang tinggal dan menetap di wilayah tersebut.
Membaca juga suatu proses pertemuan intelektual yang berlangsung dengan mereka yang tinggal jauh di sana atau bahkan dengan mereka yang telah tiada. Kita bisa jadi tidak pernah bertatap muka dengan Paulo Coelho yang menetap di Rio de Janeiro Brazil, Marah Rusli, buya Hamka, Pramoedya Ananta Toer, namun lewat The Alchemist, Siti Nurbaya, Tenggelamnya Kapal Van der Wijck, Bumi Manusia, dan karya-karya penulis lainnya kita bisa merasakan gejolak zaman, pola pikir dan adat istiadat yang berlaku di masa lampau atau di negeri antah berantah itu.
Maka sudah saatnya kita semua; baik pemerintah, pihak swasta maupun masyarakat luas untuk memberikan perhatian penuh pada perbukuan dan budaya membaca ini. Sebab dengan cara memberikan ruang yang luas pada budaya inilah kita akan terangkat martabat sebagai sebuah bangsa yang besar.
Untuk Riau ini kita masih terus mengupayakan berbagai cara dan strategi untuk meningkatkan budaya membaca, seperti membangun perpustakaan Soeman HS yang representatif, program Hibah Sejuta Buku, dan terakhir ditunjuknya provinsi Riau ini sebagai salah satu Provinsi Literasi di Indonesia.
Namun, untuk sebuah budaya yang mengakar, menjadikan membaca sebagai kebutuhan harian masyarakat dengan menyediakan waktunya, maka diperlukan kerja keras dari berbagai pihak untuk terus mengkampanyekannya.
Apalagi tahun-tahun belakangan ini kita dihadapkan dengan perkembangan teknologi digital yang luar biasa, setiap detik berseliweran berbagai informasi yang menggoda kita untuk sekedar membukanya, walaupun terkadang informasi yang kita lihat itu tidak betul-betul kita butuhkan.
Belum lagi beragamnya video game yang bisa diakses dengan mudahnya oleh para generasi muda hari ini. Mereka bahkan tahan berlama-lama memainkannya tanpa lelah dan mengenal waktu. Sementara tidak demikian endurance (daya tahan) yang mereka miliki bila diminta untuk membaca buku, mengantuk, lapar, letih dan seribu satu alasan lainnya yang akan mereka kemukakan.
Maka tantangan kita untuk membumikan budaya membaca ini ke depannya akan lebih berat lagi, mesti ada inovasi dan strategi baru yang terus kita upayakan, seperti misalnya perpustakaan digital yang diluncurkan provinsi DKI jakarta beberapa waktu lalu dengan program iJakarta, dengan demikian buku akan lebih mudah diakses dan dibaca di mana dan kapan pun secara gratis, tanpa perlu datang ke perpustakaan atau toko buku.
Dengan melakukan berbagai upaya menarik minat baca dan banyaknya hari-hari dalam setahun itu yang mengembalikan memori kita pada buku, maka ke depannya kita akan berangsur menjadi bangsa dengan masyarakat yang mencintai buku. Orang-orang membaca akan lebih mudah kita ketemukan di mana-mana.
“Agaknya inilah yang kita rindukan bersama di stasiun bis dan ruang tunggu kereta api negeri ini buku di baca, di perpustakaan perguruan, kota dan desa buku di baca, di tempat penjualan buku laris di beli dan ensiklopedia yang terpajang di ruang tamu tidak berselimut debu karena memang di baca,” ujar Taufik Ismail dalam puisinya Kupu-kupu Di Dalam Buku. Semoga.
Penulis: Wandi Juhadi - Aktivis Gerakan Riau Membaca [sumber: riaupos.co]