Gerakan Literasi Perlu Terintegrasi dengan Kurikulum
Gerakan Literasi Perlu Terintegrasi dengan Kurikulum.
Dunia Perpustakaan | Dosen Fakultas Komunikasi Universitas Islam Bandung, Santi Indra Astuti, mengatakan hoax masih akan terus tumbuh subur dan merusak bangsa bila kemampuan literasi masyarakat masih lemah.
Kurikulum pendidikan di sekolah yang mendorong kesadaran literasi digital diharapkan menjadi solusi atas penyebaran kabar palsu melaui media sosial.
“Gerakan literasi, terutama literasi digital, perlu diintegrasikan dengan kurikulum sekolah. Bentuknya bisa masuk dalam muatan lokal dan ekstrakurikuler atau dikombinasikan dengan pelajaran lain,” ujar Santi di Bandung, Jawa Barat, Dikutip dari kompas Selasa (7/2).
Menurut Santi, hoax sudah menjadi alat beragam kepentingan pribadi atau kelompok.
Kebenaran konten yang disajikan tidak diperhatikan karena tujuannya bukan untuk memberi informasi yang benar tapi mendukung pendapat pribadi.
Santi mengatakan, sejumlah dosen komunikasi dari 24 perguruan tinggi se-Indonesia berencana meneliti fenomena hoax dan literasi digital lebih dalam dan menyeluruh, dalam waktu dekat.
Tidak cukup sekadar dilawan dengan menyampaikan kabar berita yang benar. Pemahaman hoax sebagai alat memecah bangsa juga harus terus disampaikan. “Kami ingin memetakan gerakan literasi digital di Indonesia.
Dari situ akan diketahui sasaran penelitian itu akan seperti apa. Bila hal itu sudah dipetakan nantinya akan ditentukan pembelajaran seperti yang akan dimasukan dalam kurikulum sekolah,” ucapnya.
Selain dalam ranah pendidikan formal, Santi berharap pencegahan hoax juga dilakukan di ranah informal, seperti media masa, dan gerakan kelompok masyarakat. Sanksi tertentu bagi penyebar hoax juga perlu diberikan agar tidak sembarangan dalam menyebarkan informasi.
“Sanksi akan membuat pelaku penyebar hoax pikir-pikir sebelum menyebarkan informasi yang belum terjamin kebenarannya. Bangsa kita lebih merasa takut malu daripada takut salah,” ujarnya.