Header Ads

Tulisan Terkini

Literasi Rendah Ladang Hoax : Warga Membaca Berita Tak Sampai 1 Menit!

Literasi Rendah Ladang Hoax : Warga Membaca Berita Tak Sampai 1 Menit!


Dunia Perpustakaan | Ternyata reaksi netizen atas publikasi kami terkait dengan "Minat Baca Rendah tapi Paling Cerewet di Dunia, itulah Netizen Indonesia!" mendapatkan reaksi positif dari netizen.

Kalaupun ada yang bereaksi negatif, kami anggap mungkin mereka kelompok yang merasa tersindir atas fakta dan data yang kami publikasikan tersebut.

Kami juga menyebarkan tulisan yang sama melalui media online lain seperti kumparan.com, dan juga melalui blog.detik.com yang sudah ikut dipasang di halaman utama detik.com juga diretweet oleh akun resmi twitter detik.com.

Tujuanya supaya semakin banyak masyarakat yang menyadari fakta dan data tersebut, sehingga menjadikan masyarakat kita semakin melek informasi dan tidak mudah terprovokasi oleh hoax.

Entah seperti kebetulan atau tidak, pada hari Selasa [7/2/2017], kompas cetak di halaman utama juga membuat ulasan khusus terkait hal ini, dengan memuat tulisan berjudul, "Literasi Rendah Ladang Hoax : Warga Membaca Berita Tak Sampai 1 Menit".

Pada waktu yang bersamaan juga, duta baca Indonesia Najwa Shihab juga ikut mempublikasikan ulasan singkat kompas ini melalui akun instagramnya.

Kami sangat memberikan apresiasi atas hal ini, semoga dengan semakin banyak pihak termasuk netizen yang ikut membuat isu literasi ini menjadi viral, diharapkan semakin banyak masyarakat Indonesia "MALU", dan selanjutnya MAU untuk meningkatkan budaya membaca.

Bagaimana mungkin kita berharap negeri kita berubah jika PERILAKU kita masih SAMA?

Ada sebuah pepatah yang perlu kita renungkan dan harus diresapi untuk dijalankan,

".... Jika kita ingin melihat KONDISI sebuah negara 10-50 tahun yang akan datang, maka LIHATLAH APA YANG DILAKUKAN WARGA NEGARANYA HARI INI!"

Untuk anda yang belum sempat membaca ulasan khusus kompas terkait dengan "Literasi Rendah Ladang Hoax : Warga Membaca Berita Tak Sampai 1 Menit", kami lampirkan secara utuh ulasan tersebut yang kami kutip langsung dari kompas [7/2/2017].

"Literasi Rendah Ladang Hoax : Warga Membaca Berita Tak Sampai 1 Menit"

Rendahnya kesadaran literasi menjadi salah satu faktor pendorong masifnya peredaran kabar bohong atau hoax. Dengan budaya baca yang rendah, masyarakat menelan informasi secara instan tanpa berupaya mencerna secara utuh.


Inisiator komunitas Masyarakat Indonesia Anti Hoax, Septiaji Eko Nugroho, Senin (6/2), di Jakarta, menilai, masyarakat yang kesadaran literasinya rendah menjadi ladang subur peredaran hoax.


”Bangsa kita bukan bangsa pembaca, tetapi bangsa ngerumpi. Informasi yang diterima langsung diyakini sebagai sebuah kebenaran, lalu berupaya membagi informasi tersebut kepada orang lain,” ucap Septiaji.


Hal itu relevan dengan catatan UNESCO (Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, danKebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa). Indeks membaca bangsa Indonesia menurut UNESCO (2012) hanya 0,001. Artinya, di antara 1.000 orang, hanya satu orang yang membaca secara serius.


Demikian pula catatan survei Most Literated Nation in The World (2015) menempatkan Indonesia pada peringkat ke-60 dari 61 negara.


Septiaji mengatakan, di tengah rendahnya minat dan budaya baca, Indonesia kini menghadapi tantangan baru untuk mendorong warganya melek digital. Namun, dosen filsafat Universitas Indonesia, Tommy F Awuy, meluruskan bahwa penyebaran berita bohong kadang tidak melulu relevan dengan tingkat literasi.


Sejumlah grup media sosial tertentu juga dihuni oleh orang dengan tingkat literasi yang memadai. Tommy menyebut dunia media sosial bukanlah dunia yang bersemangat menunjuk pada kebenaran atau kesalahan, melainkan berpengaruh atau tidak.


Karena itulah, dalam media sosial muncul buzzer atau agen yang memiliki pengaruh dan banyak pengikut. Mereka sering disewa pihak-pihak tertentu untuk menguasai dan memenangi sebuah kompetisi.


” Buzzer bekerja dengan keterampilan atau kemampuan khusus. Mereka dapat mengonstruksi sebuah realitas untuk menebar pengaruh,” ujar Tommy.


Awalnya, buzzer merupakan bagian dalam strategi pemasaran sebuah produk. Mereka biasanya orang-orang terkenal, mulai dari artis, olahragawan, ilmuwan, penulis, hingga tokoh masyarakat.


Namun, belakangan berkembang pula buzzer dalam dunia politik. Dengan keahliannya, mereka mengonstruksi realitas, seorang buzzer bisa meraup keuntungan dari pemasangan iklan ataupun bayaran dari pihak tertentu.


Penetrasi digital di tengah masyarakat berlangsung sangat cepat. Hasil survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) dan Polling Indonesia 2016 mencatat 132,7 juta orang atau lebih dari separuh penduduk Indonesia (51,8 persen) telah menggunakan internet.

Dilihat dari pelakunya, pengguna internet Indonesia 69,9 persen di antaranya mengakses internet melalui apa saja, termasuk gawai.  Septiaji menilai kemunculan media baru digital inilah yang memunculkan gegar budaya di masyarakat.

Orang dengan mudah saling mencaci tanpa canggung atau merasa bersalah.

Laman daring Turnbackhoax.id yang digerakkan oleh aktivis teknologi informasi di Indonesia selama 1 Januari 2017 hingga 2 Februari 2017 menerima 1.656 aduan informasi bohong, fitnah, ataupun hasutan.

Laman daring itu selama sebulan terakhir dikunjungi sebanyak 47.132 kali oleh 13.915 pengguna internet.

Jumlah ini naik dibandingkan periode Desember 2016 yang berjumlah 28.219 kali oleh 10.898 pengguna internet.

Membaca sepintas


Pakar media sosial Nukman Luthfie mengatakan, fenomena ini melanda tak hanya Indonesia.

”Kondisi seperti ini bahkan juga terjadi di negara-negara dengan tingkat pendidikan tinggi,” ujar Nukman. Contohnya, berita bohong pun merebak di Amerika Serikat menjelang Pemilihan Presiden November 2016.

Menurut Nukman, sekitar 59 persen konten di media sosial tidak pernah diklik atau dibuka. Era klik paid atau bisnis berdasarkan jumlah klik sudah lewat. Cara itu tergantikan dengan era share atau penyebaran melalui aneka macam media sosial atau grup-grup tertutup.

”Sebagian besar tulisan online hanya dibaca sepintas lalu, bahkan kadang tidak dibuka atau diklik sama sekali. Judul berita cenderung dianggap kesimpulan agar orang yang baca bisa segera tahu isinya. Kalaupun dibaca, tidak sampai semenit,” paparnya.

Kecenderungan seperti ini pula yang akhirnya diikuti sebagian media arus utama. Karena tuntutan bisnis, mereka kerap sengaja membuat judul berita yang bombastis, sensasional. Informasi sekilas dikemas provokatif.

Yusuf Nurrachman, CEO Rumahweb, salah satu registrar domain internet mengakui, pihaknya kerap kena getah dari situs-situs bermasalah ini, karena pihaknya dianggap terlibat dalam aktivitas situs yang kerap berurusan dengan kepolisian.

Direktur Politica Wave Yose Rizal mengungkapkan, penindakan secara hukum bisa menjadi solusi jangka pendek untuk memberikan efek jera. Sementara itu, solusi jangka panjang adalah membangun literasi digital yang sebaiknya melibatkan sektor pendidikan seperti diajarkan ke sekolah sejak dini.