Mengintip dan Belajar Budaya Baca di Jepang
Mengintip dan Belajar Budaya Baca di Jepang.
Dunia Perpustakaan | Jika Anda mendengar kata ‘komik’, tentu Anda akan mengaitkannya dengan Negara Jepang. Memang Jepang adalah salah satu Negara yang sukses dalam memproduksi Komik.
Kreatifitas menulis diantara para pengarang komik seakan tidak pernah mati. Bahkan komik Jepang sudah merambah ke belahan dunia lainnya seperti juga di Indonesia.
Di Indonesia komik Jepang sering menjadi perburuan, terutama untuk komik berseri. Dan kita akan bertanya-tanya, bagaimana bisa ya masyarakat Jepang bisa aktif dalam menulis ?
Untuk mengetahu jawabanya kita perlu mempelajari lagi bagaimana kebiasaan orang-orang Jepang dalam kesehariannya sebagaimana kami kutip dari bimba-aiueo.com.
Budaya Membaca di Kalangan Orang Jepang
Rata-rata orang Jepang memang gemar membaca, atau paling tidak gemar mencari informasi -yang tampak remeh sekalipun- dari orang lain. Bahkan banyak para artis yang mempunyai hobi membaca.
Berdasarkan pengamatan Romi Satria Wahono yang pernah 10 tahun tinggal di sana menggambarkan bahwa sebagian besar penumpang densha (kereta listrik), baik anak-anak maupun dewasa sedang asyik membaca buku atau Koran.
Tidak peduli duduk atau berdiri, banyak yang memanfaatkan waktu di densha untuk membaca. Pun di ceritakan bahwa banyak penerbit yang mulai membuat manga (komik bergambar) untuk materi-materi kurikulum sekolah baik SD, SMP maupun SMA.
Pelajaran Sejarah, Biologi, Bahasa, dan sebagainya disajikan dengan menarik yang membuat minat baca masyarakat semakin tinggi. Budaya baca orang Jepang juga didukung oleh kecepatan dalam proses penerjemahan buku-buku asing (bahasa inggris, perancis, jerman, dsb).
Konon kabarnya legenda penerjemahan buku-buku asing sudah dimulai pada tahun 1684, seiring dibangunnya institut penerjemahan dan terus berkembang sampai jaman modern.
Biasanya terjemahan buku bahasa Jepang sudah tersedia dalam beberapa minggu sejak buku asingnya diterbitkan. Tak heran pemerintah Jepang juga mengambil kebijakan tersendiri guna meningkatkan taraf pendidikan masyarakat Jepang dengan menciptakan kebijakan publik khusus untuk memotivasi masyarakat Jepang kembali ke sekolah (Kikosushijo) pada tahun 1962.
Keberanian untuk membuat prioritas kebijakan publik pada sektor pendidikan adalah suatu syarat mutlak atau tidak bisa tidak (conditio sine qua non).
Kebijakan ini mendorong pemerintah Jepang dari pusat sampai ke daerah-daerah untuk antara lain menyediakan secara gratis buku-buku bacaan, membeli lahan untuk pembangunan sekolah dengan sistem pendidikan bermutu, tak ketinggalan mengirim guru-guru untuk bersekolah di luar negeri pada berbagai universitas ternama.
Akhirnya Sejarah pun mencatat bahwa keunggulan manusia Jepang, yang ditandai lejitan ke peringkat-peringkat atas persaingan global, dicapai melalui kerja keras. Visi Jepang cerah juga melalui pelembagaan budaya baca.
Budaya ini dibangun lewat kebijakan penyadaran pentingnya membaca. Ia sengaja direncanakan, ditanamkan, ditumbuhkan dan dikembangkan secara serius dan berlanjut. Kesadaran membaca dituntun melalui disiplin tingkat tinggi.
Budaya baca memang menggelora ke seluruh lini kehidupan bermasyarakat Jepang. Ia diterima dan dipertahankan karena meyakinkan secara logis sebagai obor penerang masa depan. Benar-benar mengagumkan bukan?.
Berdasarkan pengamatan Romi Satria Wahono, kini, membaca dan selalu membaca telah menjadi pemandangan umum.
Budaya baca ini terlihat tidak hanya pada jam-jam belajar. Bukan saja ketika berada di sekolah-sekolah atau kampus-kampus. Ia merupakan kebudayaan yang hidup dan menghidupkan ketika sedang berada di bus, kereta api, taman-taman kota, tempat-tempat rekreasi, tidak terkecuali sambil menunggu pesanan makanan di kafe atau restoran.
Toko Buku Ala Jepang
Bila kita ke toko buku, terlihat pada pinggir-pinggir tembok sengaja disediakan meja dan kursi bagi pembaca, demikian ungkap Romi Satria Wahono . Bahkan sering terlihat banyak orang lanjut usia sedang asyik membaca, tak mau kalah, pantang mundur berpandu kaca pembesar huruf.
Hebat pula bahwa pelayan toko buku sama sekali tidak terlihat melarang, kalau ada siswa atau mahasiswa yang sengaja mengerjakan tugas atau pekerjaan rumah di sana. Tentu saja ada aturannya, membaca dengan tenang dan menjaga kebersihan serta keutuhan bahan bacaan.
Menurut data dari bunkanews (situs khusus tentang media massa berbahasa Jepang), jumlah toko buku di Jepang adalah sama dengan jumlah toko buku di Amerika Serikat.
Amerika Serikat adalah dua puluh enam kali lebih luas dan berpenduduk dua kali lebih banyak daripada Jepang. Karena itu, data ini menunjukkan bahwa toko buku sangat banyak di Jepang, mudah dijangkau, dan berada sangat dekat dengan masyarakat Jepang.
Sebuah kelebihan yang membuat bahagia para konsumen buku dan penerbit tentunya. Juga menunjukkan tingginya apresiasi masyarakat terhadap budaya membaca.
Toko buku yang ada tak melulu toko buku baru. Masih menurut bunkanews, toko buku bekas atau toko buku tua menempati presentase sepertiga jumlah toko buku. Artinya, jumlah toko buku bekas adalah separuh jumlah toko buku baru.
Keberadaan toko buku bekas ini sangat menolong konsumen buku, karena mereka bisa mendapatkan buku yang mereka inginkan dengan harga yang jauh lebih murah dan terjangkau. Bahkan terkadang, kita bisa mendapatkan buku-buku tua yang sangat bernilai namun sudah tak lagi diterbitkan.
Toko-toko buku ini berani untuk buka sampai larut malam, lebih malam dari departemen store maupun supermarket.
Mengapa demikian?
Karena kaki para konsumen buku terus mengalir sampai malam. Banyak di antara mereka yang datang hanya untuk sekedar "tachi yomi" (artinya membaca sambil berdiri di toko buku tanpa membeli) melepas kebosanan di malam hari.
Tachiyomi sekilas tampaknya hanya merusak pemandangan toko. Namun ternyata oplag penjualan berbanding lurus dengan jumlah orang yang tachiyomi. Artinya, ada kencenderungan sehabis tachiyomi orang tergerak untuk membeli bacaan lainnya.
Kecenderungan orang Jepang pada aktivitas membaca dimanfaatkan oleh para penerbit sebagai ajang promosi buku-buku mereka di televisi.
Di salah satu televisi swasta ada acara yang disebut acara "toko buku Sekiguchi".
Dalam acara ini para artis atau pelawak mempresentasikan referensi suatu buku, sedangkan artis lain yang hadir diminta untuk membeli berdasarkan kesan mereka terhadap presentasi tersebut dari kocek mereka sendiri. Acara ini sangat membantu bagi penggemar buku yang sibuk dan tak sempat berlama-lama di toko buku.
Penonton bisa melihat referensi yang divisualisasikan dalam layar TV dan memesan lewat internet atau telpon jika tertarik untuk membeli. Mirip sebuah "televisi shopping", namun yang dipromosikan adalah buku.
Ketika kita masuk ke sebuah toko buku, biasanya ada beberapa hal khas yang kita jumpai.
Pertama, biasanya buku-buku bacaan di Jepang, seperti novel, kumpulan essai, ataupun ilmiah populer didesain dalam ukuran kecil, ringan, dan mudah dibawa kemana-mana. Sehingga kita tidak enggan membawa buku tersebut baik ketika dalam perjalanan ke kantor ataupun berbelanja.
Orang yang membaca buku (tentu juga komik ataupun majalah) akan sangat mudah kita temui di bis-bis kota ataupun di kereta-kereta listrik.
Kedua, kita akan susah mendapatkan buku-buku berbahasa Inggris di toko-toko buku Jepang pada umumnya. Ini karena, para penerbit Jepang sangat memperhatikan penerjemahan buku-buku hasil karya penulis dari negara-negara lain.
Bahkan banyak kasus buku best seller yang diterbitkan di negara lain diterbitkan pula terjemahannya di Jepang dalam waktu yang hampir berbarengan, seperti buku Harry Potter yang ngetop di Amerika itu.
Ini tentu saja karunia bagi masyarakat Jepang khususnya para penggemar buku. Mereka bisa menikmati hasil karya penulis-penulis beken negara lain dalam bahasa mereka sendiri. Suatu karunia yang kita pikir hanya dipunyai oleh negara-negara berbahasa Inggris, seperti Amerika atau sebagian negara Eropa.
Hanya toko-toko besar tertentu (dan biasanya di daerah perkotaan) yang menyediakan buku-buku impor berbahasa Inggris dan bukan terjemahannya.
Ke Perpustakaan Untuk Membaca
[caption id="attachment_3237" align="aligncenter" width="660"] Di Jepang, kalau sampai terlalu siang datang ke perpustakaan, bisa-bisa tidak kebagian tempat duduk :-)[/caption]
Selain toko buku, perpustakan pun sangat mudah kita temui di sekitar kita. Di daerah pedesaan, biasanya, perpustakaan ini dikelola oleh pemerintah daerah setingkat kecamatan di Indonesia.
Keberadaannya mudah dijangkau oleh masyarakat pedesaan. Sebab itu, meskipun di pedesaan, buku bukanlah barang mahal yang sulit di dapat.
Pada perpustakaan-perpustakaan, petugas keamanan terlihat senantiasa berdiri atau berkeliling, walau jarang tampak pengunjung perpustakaan yang menimbulkan kebisingan.
Mereka tidak akan segan-segan menegur tegas, bila terdengar atau kelihatan ada pengunjung yang terlalu lama berbisik ria. Iya, walau hanya berbisik, bukan bersuara keras, tidak diperbolehkan. Perilaku ini dianggap mengganggu orang lain yang sedang membaca dan menciderai misi perpustakaan. Semacam 'delik penodaan' dalam sakralitas dan martabat masyarakat baca nan terdidik.